Pratinjau

12 Dec 2012

memahami perilaku warga DAS


DAS bantas
Banjir, kekeringan, degradasi lahan, dan pencemaran kualitas air yang terjadi di Satu wilayah DAS pada dasarnya merupakan akibat yang ditimbulkan dari kumpulan perilaku dan akumulasi perilaku warga di DAS yang bersangkutan.

“Mengapa petani-petani di satu DAS tidak mempraktekan teknik konservasi tanah dan air di persil lahannya?”

“Mengapa masih ada warga DAS yang membuang sampah ke sungai?”

“Mengapa sebagian warga DAS membangun sumur resapan atau lubang resapan biopori di persil pekarangan rumahnya dan sebagian lainnya, bahkan terbanyak, tidak melakukannya?”

“Mengapa sebagian warga DAS memelihara tanaman yang ditanaman dalam rangka Gerhan dan sebagian lainnya tidak peduli?”

“Mengapa sebagian warga DAS konsisten mengikuti aturan tentang koefisien dasar bangunan (KDB) dan sebagian lainnya melanggar?”

“Apakah setiap warga mengetahui di DAS mana ia tinggal?”

Ikhtiar untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu tampaknya alpa kita lakukan secara serius. Kita lebih asyik melakukan berbagai kajian skala DAS, membuat simulasi dengan menggunakan berbagai softwarepemodelan, dan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi dengan pendeatan biofisik, ketimbang berupaya memahami apa yang berada dalam konstruksi berpikir para petani, konstruksi berpikir para warga pemilik persil lahan permukiman, dan terutama konstruksi berpikir di kalangan birokrasi.

Seorang profesor di bidang kehutanan, setelah bergulat panjang dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan kehutanan sampai pada satu kesimpulan: “Forest management is not about trees. It’s about people.”

Profesor Emeritus Sitanala Arsyad, mantan rektor IPB, dan penulis buku: “Konservasi Tanah dan Air”, ketika memberikan sumbangan tulisan dalam Buku Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air rangka Kongres MKTI akhir tahun 2007, membuat tulisan” “Dimensi Manusia dalam Konservasi Tanah dan Air.”

Ada satu pengakuan yang tulus yang dikemukakan dalam tulisan itu: “Meskipun penelitian mengenai metode atau teknologi yang berkaitan dengan konservasi tanah dan air yang bertujuan mencari teknologi untuk mencegah kerusakan tanah dan meningkatkan produktivitas lahan telah berjalan sekitar 40 tahun di Indonesia, penerapan hasil penelitian mengenai teknologi konservasi tanah dan air di Indonesia masih sangat minimum. Tingkat dan luas areal tererosi bertambah, sedangkan produktivitas pertanian lahan kering tidak banyak meningkat.”

Lebih lanjut diakui: “Jika aspek sumberdaya fisik alami yang mempengaruhi erosi cukup banyak diteliti, penelitian aspek manusia dari masalah erosi di Indonesia sangat sedikit atau mungkin tidak ada.” 
(Arsyad, 2007).

konsep zero delta Q policy(informatif)

Konsep zero delta Q policy sudah kerapkali dibahas dalam berbagai seminar tentang sumberdaya air di Departemen Pekerjaan Umum. Ini merupakan sebuah konsep yang dikaitkan dengan upaya pengendalian banjir.

Secara yuridis formal, istilah zero delta Q policy muncul dalam Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang diterbitkan tanggal 10 Maret 2008.

Dalam Ayat 1 Pasal 106 dari PP itu disebutkan:

“Peraturan zonasi untuk kawasan imbuhan air tanah disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan;

b. penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; dan

c. penerapan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budi daya terbangun yang diajukan izinnya.”

Dalam penjelasan PP itu, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “kebijakan prinsip zero delta Q” adalah keharusan agar tiap bangunan tidak boleh mengakibatkan bertambahnya debit air ke sistem saluran drainase atau sistem aliran sungai.
Jika mengacu pada PP di atas, penerapan prinsip zero delta Q policy harus menjadi pertimbangan dalam penyusunan zonasi kawasan imbuhan air tanah. Lalu, bagaimana dengan yang non-kawasan imbuhan air tanah?

Untuk kondisi saat ini, prinsip ini seharusnya dapat dilakukan untuk semua persil dari semua jenis penggunaan lahan. Selama ini alih fungsi kawasan resapan menjadi kawasan komersial, misalnya, kerapkali dituding sebagai biang penyebab terjadinya banjir. Jika mengacu pada prinsip zero delta Q policy ini, maka pada kawasan-kawasan komersial tertentu yang saat ini sudah terbangun, konsep ini sesungguhnya dapat diterapkan.

Kemudian, dalam proses penyusunan Andal (Analisa Dampak Lingkungan), penerapan prinsip ini nampaknya belum menjadi keharusan. Jika penerapan prinsip zero delta Q policy itu hanya menjadi keharusan untuk kawasan imbuhan air tanah, maka nampaknya perlu payung hukum untuk mewajibkan penerapan itu dalam setiap penyusunan Andal.

Teknologi / teknik / metode yang dapat digunakan untuk menerapkan prinsip zero delta Q policy ini, antara lain:areal peresapan air hujan, lubang resapan biopori, modifikasi lansekap, penampungan air hujan, rain garden, saluran resapan biopori, sumur injeksi, sumur resapan, dan sebagainya.

Sumber:http://bebasbanjir2025.wordpress.com

Jakarta bebas banjir itu mitos untuk saat ini!!


JAKARTA bebas banjir sepertinya sulit terwujud. Selain butuh waktu lama, upaya menuju hal itu juga terkendala keterbatasan dana.

“Jakarta bebas banjir itu mitos. Berkurang bisa. Kalau total mustahil,” kata Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Wisnu Subagyo di Jakarta, Sabtu (27/9).

Wisnu mengungkapkan, untuk bisa bebas banjir, Jakarta masih membutuhkan 13 tempat penampungan air atau polder untuk melengkapi 42 polder yang direncanakan. Namun, pembangunan polder tidak murah. Untuk membangun polder di Sunter Timur I dan Sunter Timur II seluas total 2.350 hektar saja, kata dia, masing-masing membutuhkan dana seebesar Rp 3 triliun.

Sementara itu, untuk melakukan pengerukan 13 sungai di seluruh Jakarta, Pemprov DKI terpaksa meminjam dana dari Bank Dunia sebesar Rp 1,2 triliun. Pembangunan 13 polder, jika rata-rata membutuhkan dana Rp 3 triliun per polder, akan membutuhkan dana sebesar Rp 39 triliun dan luas lahan 6.942,11 hektar. “Itu sangat mustahil diwujudkan dalam waktu instan. Jadi, seluruh pengendali banjir itu dilakukan secara bertahap,” tutur Wisnu.

Dalam perencanaan, beberapa tempat yang akan diubah menjadi polder adalah Kapuk Polgar, Jelambar Timur, Sunter Timur Utara, Sunter Timur II, Kelapa Gading, Marunda, Cengkareng Barat, Tanjungan/ Tegal Alur, Kapuk Muara, Industri/Gunung Sahari, Rawa Buaya, Kedoya Green Garden, dan Kedoya Taman Ratu Greenville.

Hasil rapat para pejabat DKI dan daerah-daerah penyangga terkait banjir tahunan di Jakarta beberapa waktu lalu di kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla akhirnya memutuskan bahwa tiap daerah akan bertanggung jawab atas lingkungannya masing-masing. Daerah-daerah yang ikut menyumbang banjir ke Jakarta adalah Jawa Barat dan Banten. Kedua daerah itu akan diwajibkan untuk melakukan optimalisasi waduk dan situ di wilayah masing-masing.

Waduk dan situ yang sudah dangkal harus dikeruk ulang dan hal itu juga tidak murah. Biaya pengerukan satu waduk ditaksir mencapai Rp 250 miliar. Wisnu menyebutkan, selama seluruh pengendali banjir belum bisa dibenahi secara total, pihaknya terus berusaha meningkatkan water rasio atau perbandingan daerah penampungan air dengan bangunan.

Saat ini, katanya, water ratio Jakarta baru 2,9 persen dan hingga 2009 akan diusahakan angka tersebut naik hingga 4,9 persen. “Jadi ada daerah yang namanya zero over flow. Itu tidak boleh dibangun sebelum menyediakan daerah serapan atau penampung air,” kata Wisnu.

Peneliti sumber daya air dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Hendratmo Soekarno juga menyatakan, Jakarta sangat mustahil bisa bebas banjir. “Sebabnya, intensitas hujan berubah-ubah, sementara jumlah penampung air seperti saluran atau daerah resapan terus menyempit dan menipis,” ujar Hendratmo.

Menurut Hendratmo, jika satu saluran di DKI dikeruk secara maksimal, saluran tersebut hanya mampu bertahan selama dua tahun. Jika lewat dua tahun saluran tidak dikeruk, jumlah volume air dengan luas penampung sudah tidak seimbang sehingga air bisa meluber. “Padahal saluran di DKI ini sudah tidak dikeruk selama 25 tahun,” katanya.

Sumber : Ant, Sabtu, 27 September 2008

anggaran penaggulangan banjir DKI jakarta tahun 2010(informatif)

Anggaran penanggulangan banjir di DKI Jakarta untuk tahun 2010, diperkirakan mencapai Rp 900 Miliar. Anggaran tersebut akan tetap digunakan untuk penyempurnaan masterplan penangan banjir Jakarta.

“Tahun ini dialokasikan anggaran program dedicated sebesar Rp 957,17 Miliar, bukan hanya untuk BKT tapi juga seluruhnya,” ujar Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Rabu 28 Oktober 2009.

Gubernur berharap, dana yang telah dianggarkan dapat terserap habis hingga akhir tahun. Namun menurutnya, saat ini perlu ada penyempurnaan masterplan mengenai penanganan banjir.

Pasalnya masterplan yang ada saat ini harus disesuaikan dengan kondisi yang ada.

“Peningkatan permukaan air laut belum diperhitungkan di dalam masterplan yang lama, sekarang akan kita masukkan di dalam penyempurnaan masterplan,” katanya lagi.

Fauzi melanjutkan, ke depan untuk menanggulangi peningkatan air laut, perlu dibuatkan bendungan raksasa. Sebab pembangunan bendungan itu diperlukan untuk mengamankan kepentingan Jakarta 50 tahun ke depan.

“Mau tidak mau juga harus diprogramkan. Jangan terus dibilang kita tidak mengantisipasi. Kita antisipasi tapi kita programkan secara sistematis,” jelasnya.

Menurutnya, pembangunan tanggul di Jakarta Utara saat ini tidak akan menyelesaikan masalah banjir dan mencegah terjadinya rob. Pembangunan tanggul hanya sebagai pencegahan sesaat.

• VIVAnews

waduk resapan di sungai purba(Informatif)


http://djogjakarta.blogdetik.com/files/2008/10/bsolopurba-edit.jpg
seperti biasa, berbagai konsep dan usulan berkembang tiap usai bencana. Hal itu pula yang terjadi ketika terjadi banjir bandang di Jakarta Februari lalu. Mulai rencana menggerakkan pembangunan banjir kanal timur (BKT) dan banjir kanal barat (BKB), membuat RUU penanggulangan banjir, hingga menggagas kembali konsep megapolitan untuk menangani siklus tahunan itu secara bersama-sama.

Kemarin, konsep mengatasi banjir tahunan di Jakarta itu datang dari Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Menristek Kusmayanto Kadiman Ph.D mengusulkan pembangunan empat puluh waduk resapan di lima kawasan Jakarta. Waduk sebanyak itu dibangun tepat di atas aliran sungai purba, sehingga air yang masuk tertampung dan tidak meluber di atas permukaan tanah.

Namun untuk membangun waduk ini, Menristek meneliti kawasan mana saja yang terdapat sungai purba. Sungai purba itu sendiri sudah terbentuk sejak ribuan tahun lalu, tepatnya sejak zaman es mencair. Seiring berjalannya waktu, sungai tersebut tersedimentasi dan terkubur di bawah permukaan tanah. Meski sudah tak teraliri air, alur-alur sungai tersebut masih terbentuk secara jelas.

“Untuk mengatasi banjir, salah satu caranya, dengan membangun waduk resapan di bagian hilir,” ujar Menristek usai memaparkan penanganan banjir di hadapan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso di Balaikota, kemarin.

Dengan waduk resapan ini dapat menangani banjir saat musim hujan dan menyediakan air baku ketika musim kemarau. Menurutnya, potensi waduk resapan yang bisa dibangun di kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi seluas 800 hektare. “Kami sudah membangun waduk resapan di Universitas Indonesia (UI) Depok. Waduk tersebut dibangun dengan dana Rp 2 miliar. Pembebasan dari pemerintah daerah dan pembangunan fisik dari pemerintah pusat,” kata Menristek.

Waduk resapan nanti disambungkan ke aliran sungai purba yang telah ada. Jumlah sungai purba cukup banyak. Sayang, pihaknya tak tahu jumlah sungai tersebut. “Sungai purba itu adalah aliran sungai di bawah tanah yang kini tersedimentasi. Sungai purba itu telah dipetakan dan bisa dijadikan sebagai salah satu aliran air alami di bawah tanah, yang kemudian bermuara ke waduk resapan,” ujarnya.

Di tempat sama, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mengatakan, konsep yang dipaparkan Menristek tak jauh berbeda dengan konsep yang dimiliki Pemprov DKI Jakarta. “Perbedaannya, mereka telah mengidentifikasi sungai-sungai purba dan kemudian ada waduk resapan cukup besar,” kata mantan Pangdam Jaya itu.

Sebenarnya, sudah sejak 1996, Pemprov telah mengeluarkan Instruksi Gubernur agar semua bangunan di Ibu Kota membangun sumur resapan. Itu dimaksudkan agar air hujan tak langsung ke sungai. Namun sayangnya tak dipatuhi masyarakat. Karena itu, sejak banjir 2002, salah satu syarat yang mutlak untuk pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) adalah wajib membangun sumur resapan. Namun, karena tak ada sanksi tegas, aturan itu tak efektif diterapkan.

Saat ini, kata Sutiyoso, yang diperlukan adalah komitmen dari pihak-pihak berkompeten, terutama Gubernur DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat untuk membangun situ dan melestarikan hutan yang dikoordinasi Menteri Kehutanan. “Itu yang paling mungkin dilakukan,” katanya.

Kusmayanto juga mengatakan, akan membangun sistem peringatan dini bila banjir bandang terjadi seperti 2002 dan 2007. Dengan demikian, warga dapat mengantisipasi arus banjir yang akan datang ke Jakarta karena perjalanan air dari hulu menuju Jakarta lamanya 6-10 jam. Untuk itulah, perlu ada peringatan dini.

Setelah terdengar peringatan dini, pihaknya mengharapkan warga segera mengestafetkan peringatan tersebut menggunakan sarana kentongan, pengeras suara di masjid, dan sirene.

Seperti diketahui, waduk resapan nantinya dibangun di antaranya di Kelurahan Halim Perdana Kusuma bagian timur run way luas 60 hektare dan Kelurahan Setu seluas 40 hektare untuk aliran Kali Sunter. Waduk resapan di Halim Perdana Kusuma seluas 8 hektare untuk aliran Kali Cipinang. Waduk di Kelurahan Penggilingan dengan luas 30 hektare untuk aliran Kali Buaran.

Waduk resapan di kelurahan Sukmajaya seluas 100 hektare, Citayam seluas 150 hektare, dan Bojong Gede seluas 200 hektare. Tiga waduk itu untuk menampung aliran air dari Sungai Ciliwung. Sedangkan untuk menampung aliran Kali Krukut, diusulkan dibangun waduk resapan di kelurahan Cilandak Timur seluas 15 hektare, kelurahan Pondok Labu seluas enam hektare, dan kelurahan Cigandul seluas 30 hektare.

Dua waduk resapan dibangun di Sawangan Baru seluas 100 hektare dan kelurahan Lebak Bulus seluas 10 hektare untuk aliran Kali Pesanggrahan. Untuk pembangunan Deep Tunnel Reservoir System (DTRS), Badan Regulator Pelayanan Air Minum (BR PAM) DKI Jakarta akan memaparkan rencana pembangunan itu di depan pimpinan DPR, Senin (5/2). “Gubernur meminta saya mempresentasikan konsep deep tunnel di hadapan pimpinan dewan di gedung MPR/DPR, senin pukul 09.00,” kata Anggota Badan Regulator Firdaus Ali.

Firdaus mengatakan, rencananya pemaparan konsep deep tunnel akan didengarkan langsung Ketua DPR RI Agung Laksono, Panja Tata Ruang DPR RI, bersama tujuh menteri beserta tiga gubernur, yakni Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat. “Diharapkan, dengan diangkatnya wacana pembangunan DTRS, DPR RI bisa menerima konsep ini,” ujar Firdaus.

Sutiyoso mengatakan, DTRS saat ini baru merupakan konsep penelitian yang perlu kajian lebih lanjut. “Kita kan harus meneliti, apakah konsep ini cocok dengan struktur tanah di Jakarta. Apa bangunannya di atasnya tidak roboh kalau itu dibangun. Itu perlu diteliti lagi,” kata Sutiyoso.

Saat ini, pihaknya menerima segala masukan untuk mengatasi banjir di Jakarta. Setelah dikaji, baru menentukan konsep mana yang layak dibangun di Jakarta. “Kita pilih nanti yang cocok mana,” katanya. (eko)

sumber: http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=274120, Sabtu, 03 Mar 2007

Tirta Sangga Jaya (TSJ) banjir kanal(informatif)


http://pustaka.pu.go.id
Di tengah krisis karya monumental bangsa di era modern ini, tak ada salahnya menengok ke belakang, merenung sejenak, bahwa nenek moyang kita telah mengerjakan dan mewariskan karya monumental, seperti Candi Borobudur, yang diakui sebagai salah satu keajaiban dunia.

Dalam wujud lain, Raja Purnawarman, penguasa Kerajaan Tarumanegara, pada abad kelima Masehi sudah menerapkan manajemen air dan pengendalian banjir yang terencana dan ber­jangka sangat jauh ke depan. Menurut catatan sejarah, Raja Purnawarman, dengan peralatan yang sangat sederhana, mampu membangun kanal, kemudian menjadi sungai, sepanjang 11 kilometer hanya dalam tempo 21 hari. Artinya, setiap satu hari diselesaikan 550 meter kanal. Kanal itu kemudian diberi nama Sungai Candra Bagasasi. Peninggalan sejarah itu, sekarang bernama Kali Cakung, membelah kawasan Kecamatan Cakung, Jakarta Timur.

Jadi, dilihat dari perspektif sejarah, Tirta Sangga Jaya (TSJ) boleh dibilang bukanlah sesuatu yang terlalu besar, karena nenek moyang kita sudah mengerjakannya 1507 tahun lalu dengan peralatan yang sangat sederhana. TSJ atau sabuk kanal penyangga Ibukota Negara Jakarta, merupakan gagasan tentang tata kelola air secara holistik, yaitu mengamankan pasokan air baku dan mengendalikan arus air liar dari empat sungai besar Cisadane di barat, Ciliwung di tengah, Bekasi, dan Citarum di timur yang setiap tahun mengancam Jakarta dengan amukan banjir kiriman.

Lewat konsep tersebut, 13 sungai sebelum masuk ke Jakarta, dipotong oleh TSJ yang berbentuk huruf U. Pusat kendali waduk reservoir bisa dibangun di Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Air kiriman sungai-sungai Ciliwung, Cisadane, Bekasi dan Citarum, ditampung di waduk Cibinong dan waduk-waduk persimpangan antara sungai-sungai tersebut dan kanal TSJ. Air kanal dan waduk-waduk itu dimanfaatkan juga untuk memasok kebutuhan air baku yang bermutu bagi warga Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Juga untuk keperluan industri perhotelan, apartemen dan perkantoran, sekaligus mencegah eksploitasi air tanah secara besar-besaran.

TSJ dengan kanal selebar 100 meter dan sepanjang lebih kurang 200 kilometer, membentang membentuk huruf U dari Cibinong ke Muara Mauk, Tangerang di sebelah barat, dan dari Cibinong menuju Muara Jaya, di sebelah timur. Gagasan ini lahir dari “Mimpi untuk Jakarta” Syaykh AS Panji Gumilang, pucuk pimpinan Lembaga Pendidikan Al-Zaytun. TSJ juga bisa berfungsi sebagai jaringan irigasi, pembangkit listrik tenaga air, pariwisata, dan prasarana angkutan sungai, baik angkutan penumpang maupun barang.

Yang jadi pertanyaan, bisakab mimpi atau gagasan itu terwujud sebagai kenyataan? Sebab, pembangunan proyek TSJ yang monumental dan spektakuler, membutuhkan biaya yang sangat mahal, menurut perkiraan Syaykh sekitar Rp 900 triliun. Namun menurut Syaykh, dana sebesar itu bisa diperoleh secara bertahap apabila dipikul bersama oleh masyarakat Indonesia yang berkemampuan secara ekonomi. Artinya, pemerintah bisa menjual Surat utang negara (SUN) atau obligasi berjangka tidak terlalu lama kepada publik.

Soalnya, TSJ diharapkan bisa memberikan return (penghasilan) begitu pembangunannya selesai dalam tempo 8 tahun (tahun 2015). Penghasilan TSJ diperoleh dari pasokan air baku bermutu pada perusahaan-perusahaan daerah air minum, perhotelan, perkantoran dan apartemen. Juga dari PLTA, angkutan air, angkutan jalan tol dan pariwisata.

Raja Purnawarman saja bisa membuat sungai dengan peralatan sangat sederhana. Tentu di era kemajuan ini, puteraputera terbaik bangsa, dengan teknologi dan peralatan modern, akan mampu membuat waduk, reservoir, jalan tol dan jembatan.

Persoalannya apakah pemerintah punya political will (kemauan politik) untuk mengatasi persoalan-persoalan fundamental yang dihadapi Ibukota Negara (Jakarta) secara holistik dan berjangka. panjang. Bukan semata-mata pengendalian banjir, tetapi juga penyediaan pasokan air baku bermutu penghentian ekspolitasi air tanah, penataan kembali tata ruang dan pemeliharaan keseimbangan lingkungan Jakarta.

Jika masalah Jakarta ditangani secara parsial, misalnya membangun terowongan air bawah tanah (deep tunnel), situ, resapan air dan sumur injeksi air, maka tak akan menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Jakarta takkan pernah memiliki pasokan air baku yang bermutu. Air baku kali-kali Jakarta dijejali pencemaran yang sangat serius. Sebab air baku Kali Ciliwung dan kali-kali lainnya, pada musim hujan penuh Lumpur, dan hitam pekat pada musim kemarau.

Kalau hanya berkutat di dalam, maka krisis air di Ibukota Negara Jakarta, takkan pernah selesai. Sebaliknya, air sungaisungai itu akan semakin kotor dan tercemar. Padahal manusia sangat membutuhkan sekitar 70% pasokan air bersih untuk kehidupannya sehari-hari.

Jika kebutuhan air Jakarta tidak ditangani secara terencana dan terarah mulai sekarang, maka dalam tempo tiga atau empat tahun ke depan, Ibukota Negara ini, akan mengalami krisis air bersih yang sangat serius. Sebab sekarang saja, intrusi air laut sudah sampan ke kawasan Harmoni, Jakarta Pusat, dan Tomang, Jakarta Barat. Lambat lawn, warga Jakarta yang bermukim di kawasan barat, pusat, timur dan selatan, akan menghadapi kesulitan air seperti yang sudah lama dialami oleh saudara-saudara mereka di kawasan utara.

Kapan lagi Jakarta memiliki sungai-sungai yang mengalirkan air yang jernih dan sehat, seperti kota-kota besar dunia lainnva? Bagaimanakah nasib Program Kali Bersih (Prokasih) Jakarta? Kapankah Jakarta akan bebas dari banjir kiriman?

Semua pertanyaan tersebut hanya akan terjawab dengan membangun TSJ. Bukan mengutak-atik Banjir Kanal Barat atau Banjir Kanal Timur. Persoalan pasokan dan pengendalian air di Jakarta, tidak bisa ditangani dari bagian tengah atau hilir. Sebab sumbernya ada di hulu. Karena itu, TSJ akan melindungi Jakarta dari punggung dan lengan, sesuatu yang sangat ideal, meskipun harganya mahal.

Krisis air Jakarta hanya bisa diatasi dengan perencanaan dan manajemen air yang menyeluruh dan berjangka jauh ke depan. Kuncinya. mari kita mulai berpikir untuk mewujudkan “Mimpi untuk- Jakarta” melalui proyek monumental Tirta Sangga Jaya.

(Sumber Majalah Berita Indonesia – Edisi 39/2007)
Sumber: http://al-zaytun-online.blogspot.com/2007/06/tirta-sangga-jaya-tsj.html

teknologi modifikasi cuaca(informatif)


http://www.ristek.go.id
Indonesia pada minggu terakhir bulan Januari hingga Februari 2008. Prakiraan ini didasarkan pada perilaku

gelombang atmosfer yang dominan memengaruhi cuaca saat ini, yaitu gelombang intramusim yang dikenal dengan Madden Julian Oscillation (MJO).

Berdasarkan pemantauan gelombang MJO kemudian sudah meninggalkan wilayah Indonesia dan berada di sebelah timur wilayah Indonesia. Dalam waktu beberapa hari ini, gugus awan ini kembali berada di sebelah barat wilayah Indonesia (Samudra Indonesia). Di Indonesia bagian barat, seperti Jakarta dan Sumatera, tumbuh awan-awan konvektif yang biasanya turun menjadi hujan pada siang hingga sore hari. Ketika gugus awan sudah berada di wilayah Indonesia, hujan akan turun sepanjang hari dan malam, seperti terjadi akhir-akhir ini. Pada saat inilah peluang terjadinya banjir di wilayah Indonesia sangat besar.

Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi terjadinya banjir ini? Tanpa mengecilkan arti dari

berbagai upaya yang telah dilakukan berbagai pihak, sebenarnya Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mempunyai kemampuan antisipasi banjir dengan sebuah teknologi untuk memodifikasi cuaca.

Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) selama ini banyak berfungsi untuk menambah curah hujan. Dalam fungsinya menambah curah hujan, teknologi ini dilaksanakan dengan memasukkan bahan semai yang bersifat higroskopis dengan ukuran 1-100 mikron (µ).
Bahan semai yang berukuran kurang dari 10 µ ini berfungsi untuk meningkatkan energi awan sehingga menambah suplai uap air yang masuk ke dalam sistem awan.

Sedangkan bahan semai yang berukuran lebih dari 10 µ berfungsi mempercepat proses-proses di dalam awan sehingga cepat turun menjadi hujan.

Dalam usaha menambah curah hujan, awan yang disemai adalah awan yang diperkirakan akan turun menjadi hujan di daerah yang memerlukan tambahan hujan.

Modifikasi teknologi TMC

Kemudian bagaimana TMC bisa mengantisipasi banjir? Dengan mempertimbangkan konsep TMC untuk menambah curah hujan, dengan sedikit saja modifikasi, teknologi ini juga bisa digunakan untuk mengantisipasi (atau bisa diartikan mencegah) terjadinya banjir (akibat curah hujan tinggi).

Modifikasi yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Bahan semai yang digunakan adalah bahan semai higroskopis dengan ukuran lebih dari 10 µ-100 µ. Agar lebih aman dari kemungkinan terjadinya peningkatan curah hujan, bisa saja digunakan bahan semai higroskopis dengan ukuran 30-100 µ. Dengan cara ini, penyemaian awan hanya bertujuan untuk mempercepat terjadinya hujan. Mekanisme ini disebut juga sebagai jumping process.

Awan-awan yang disemai adalah awan-awan yang masih berada di atas laut dan diperkirakan (dengan mengukur kecepatan angin dan posisi awan) dalam tiga jam ke depan masih berada di atas laut. Dengan cara ini, bisa dipastikan awan-awan yang disemai akan jatuh di lautan karena awan-awan yang disemai akan turun menjadi hujan dalam waktu kurang dari dua jam akibat mekanisme

jumping process.

Dari segi teknis, teknologi ini tidak terlalu sulit dilaksanakan BPPT karena BPPT (melalui bagian

organisasinya, yaitu Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan) sudah mempunyai pengalaman puluhan tahun dan sekarang sudah memiliki alat-alat canggih untuk melakukan tugas-tugas seperti yang penulis sebutkan di atas.

Akan tetapi, bagaimanapun, teknologi ini tidak bisa menjamin untuk tidak akan terjadinya banjir di wilayah

Indonesia. Meski demikian, teknologi ini akan cukup signifikan dalam mengurangi curah hujan yang jatuh di wilayah daratan Indonesia, yang pada akhirnya bisa mengurangi peluang terjadinya banjir.

Hanya masalahnya, cukupkah keberanian kita untuk mengantisipasi/mencegah sesuatu (bencana sekalipun) yang belum terjadi (meskipun secara saintifik berpeluang besar untuk terjadi)?

TRI HANDOKO SETO Peneliti dan Praktisi TMC di BPPT
Sumber:http://www.opensubscriber.com/message/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/8642960.html; Rabu, 20 Februari 2008 | 01:58 WIB

sumur injeksi(informatif)

Sumur injeksi untuk “menabung” air sebagai upaya konservasi cekungan air bawah tanah di Jakarta ternyata tidak dimanfaatkan. Alasannya sederhana. Air untuk diinjeksikan kurang layak. Akan tetapi, anehnya, tanpa pernah ada upaya memulihkan kelayakan airnya kembali supaya tujuan “menabung” air itu terlaksana.

Delapan tahun lampau, 1997/1998, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuat empat sumur injeksi. Masing-masing di kawasan Setu Babakan, Waduk Sunter, Pulo Mas, dan pinggir banjir kanal barat Ciliwung di Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat. Semuanya sekarang mangkrak.

“Tulisan ’Sumur Injeksi’ ini apa maksudnya?” kata Murtanto, salah seorang warga ketika melintas di pedestrian pinggir proyek banjir kanal barat Ciliwung di kawasan Jalan Latuharhari, Senin (4/12). Di lokasi itu terdapat salah satu sumur injeksi yang sebelumnya memanfaatkan suplai air untuk diinjeksikan dari banjir kanal Ciliwung.

Murtanto saat itu pun ikut sibuk menelaah keberadaan pipa berdiameter sekitar 20 sentimeter itu. Pipa sumur dipandangnya mengganggu sebagian jalan setapak yang memang baru saja diselesaikan di pinggir banjir kanal tersebut.

Dari permukaan tanah, tinggi pipa sekitar 80 sentimeter. Lokasinya berjarak lima meter dari bibir proyek banjir kanal. Separuh bagian, dimulai dari pangkal pipa, terbungkus drum yang di dalamnya ada perkerasan semen.

Pada lapisan atas perkerasan semen itu terpampang prasasti batu marmer bertuliskan, “Sumur Injeksi”. Tulisan inilah yang dipertanyakan Murtanto. Selain itu, terpampang pula tulisan, “Dinas Pertambangan DKI Jakarta” dan “Tahun Anggaran 1997-1998″.

Berjarak sekitar 10 meter dari sumur injeksi yang diapit jalur rel kereta api antara Stasiun Dukuh Atas-Manggarai dengan proyek banjir kanal barat Ciliwung itu terdapat sumur pantau. Prasasti marmer yang menunjukkan kepastian akan adanya sumur pantau tersebut.

Sumur injeksi dan sumur pantau memang berkaitan. Sumur pantau untuk mengukur atau memantau muka air tanah, sedangkan sumur injeksi untuk memasukkan air ke dalam tanah ketika muka air tanah terpantau kritis. Sumur pantau itu pun tampak sudah tidak pernah lagi digunakan.

Masyarakat umumnya lebih mengenal istilah sumur resapan. Pada prinsipnya, antara sumur injeksi dengan sumur resapan bertujuan sama, yaitu mengembalikan air ke dalam tanah. Namun, kapasitas air yang dimasukkan melalui sumur injeksi akan jauh lebih besar daripada sumur resapan, karena ditekan dengan mesin pemompa.

Air bawah tanah

Keberadaan sumur pantau dan sumur injeksi di pinggir banjir kanal pantas saja menjadi pertanyaan Murtanto maupun warga lainnya yang sering melintasinya. Baru setelah mendapatkan sedikit gambaran bahwa fungsi kedua sumur untuk konservasi lingkungan, terutama untuk konservasi air bawah tanah tersebut, Murtanto sedikit berkomentar, “Kalau pemerintah saja malas berbuat untuk konservasi air, bagaimana dengan warganya?”

Memasukkan air bersih sebanyak-banyaknya ke dalam tanah melalui sumur injeksi merupakan bagian penting upaya konservasi cekungan air bawah tanah. Selama ini, konservasi tersebut masih diabaikan.

“Konservasi cekungan air bawah tanah harus terpadu dengan konservasi daerah aliran sungai. Manajemen yang ada di Indonesia baru sekadar konservasi beberapa daerah aliran sungai. Ada istilah one river, one management (satu sungai, satu manajemen), tetapi belum pernah terwujud one basin, one management (satu cekungan air bawah tanah, satu manajemen),” kata Danaryanto, Kepala Subdirektorat Pengelolaan Konservasi Panas Bumi dan Air Tanah pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

Sumur injeksi, kata dia, merupakan metode paling optimal untuk mengembalikan kadar air bawah tanah. Namun, percuma saja kalau air yang diinjeksikan tidak bersih atau tercemar.

Pipa pada sumur injeksi di lapisan pasir, lanjut dia, biasanya diberi saringan untuk penyerapan air ke dalam tanah. Ketika airnya kotor, saringan akan cepat tersumbat. Kalau air tercemar, akan sangat merugikan kondisi cekungan air bawah tanah.

“Persoalan yang timbul sekarang, air bersih yang akan diinjeksikan itu tidak pernah tersedia. Sebab, air bersih untuk kebutuhan warga sehari-hari saja masih mengalami kekurangan,” kata Danaryanto.

Ia menyebutkan pernah membuat sumur injeksi di Kapuk, Jakarta Utara. Akan tetapi, lama-kelamaan tidak pernah tersedia air bersih untuk diinjeksikan karena warga Kapuk sendiri kekurangan air bersih.

Kondisi kritis cekungan air bawah tanah, menurut Danaryanto, saat ini tidak hanya dihadapi di Jakarta. Di berbagai wilayah di Indonesia banyak ditemui kondisi kritis tersebut.

“Untuk menguji ketersediaan air bawah tanah yang masih bagus, jika dibor pada kedalaman tertentu akan menjadi sumur artesis. Air akan mengalir ke permukaan tanah dengan sendirinya melalui pipa yang diborkan,” jelasnya.

Jangankan sumur artesis, sumur-sumur bor yang disedot dengan mesin pompa saja sekarang susah didapat. Kalaupun air dapat diperoleh, kandungannya pun sudah sangat polutan, terutama di wilayah Jakarta Selatan bagian utara hingga wilayah Jakarta Utara. Satu-satunya harapan bertumpu pada persediaan air bersih yang didistribusikan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).

Menurut Kepala Subdinas Bina Usaha Air Bawah Tanah dan Bahan Galian pada Dinas Pertambangan DKI Jakarta, Dian Wiwekowati, saat ini belum ada upaya untuk memfungsikan kembali sumur-sumur injeksi yang ada di Jakarta. “Upaya mengendalikan pemanfaatan air bawah tanah masih sebatas pada pembatasan kapasitas air bawah tanah yang diambil melalui pengeboran-pengeboran,” katanya.

Izin pengambilan air sumur dalam, lanjut Dian, dibatasi kapasitas 100 meter kubik per hari. Saat ini diberikan 2.100 perizinan pemanfaatan air bawah tanah dengan sumur dalam. Adapun untuk sumur dangkal diberikan 1.500 perizinan dengan kapasitas pengambilan lima meter kubik per hari. Sesuai Deklarasi Kota Hijau yang turut ditandatangani Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di San Fransisco, Amerika Serikat, pada tahun 2005, diharapkan pada tahun 2012 sudah dapat dihentikan pemanfaatan air tanah tersebut.

Pemanfaatan air bawah tanah itu kemudian seharusnya digantikan dengan pemanfaatan air permukaan. Di Jakarta air permukaan yang diambil untuk PDAM berasal dari Waduk Jatiluhur dengan sumber aliran dari Sungai Citarum. Kapasitas air baku itu pun sering dikeluhkan operator PDAM DKI, PT Thames Pam Jaya (TPJ) dan PT Pam Lyonaisse Jaya (Palyja), karena debitnya kurang atau kualitas airnya buruk.

Untuk menghambat atau melarang pemanfaatan air bawah tanah, kemudian beralih pada pemanfaatan air permukaan, memang tidak akan mudah.

“Pemanfaatan air bawah tanah selama ini menunjukkan sebagai bentuk ketidakmampuan dalam mendistribusikan hasil pengolahan air permukaan kepada masyarakatnya,” kata Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Jawa Tengah Edi Haryono, saat menjadi pembicara lokakarya “Konsolidasi Penyelenggaraan Pengelolaan Air Tanah” yang diselenggarakan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Sudah jelas, pemanfaatan air bawah tanah kurang bagus untuk konservasi lingkungan. Namun, di berbagai wilayah di Indonesia hal itu tak terhindarkan.

Saat ini, mengisi kembali kandungan air bawah tanah melalui sumur injeksi memang bukanlah satu-satunya langkah paling efektif untuk menyelamatkan kondisi air bawah tanah. Akan tetapi, selagi pemanfaatan air bawah tanah masih saja terus berlangsung dan sulit dihambat, lebih baik sumur injeksi kembali dimanfaatkan.

Sumber: Kompas, Sabtu, 09 Desember 2006 ; http://64.203.71.11/kompas-cetak/0612/09/humaniora/3153948.htm

Strip Penyangga Riparian(informatif)


Tumbuhan berupa pohonan, rumputan dan semak-semak atau campuran berbagai bentuk dan jenis vegetasi yang ditanam sepanjang tepi kiri dan kanan sungai disebut riparian buffers strips atau filter strips yang dalam Bahasa Indonesianya adalah strip penyangga riparian atau penyangga riparian atau strip filter. Secara umum digunakan jalur hijau sungai.

Penyangga riparian berfungsi untuk menjaga kelestarian fungsi sungai dengan cara menahan atau menangkap tanah (lumpur) yang tererosi serta unsur-unsur hara dan bahan kimia termasuk pestisida yang terbawa., dari lahan di bagian kiri dan kanan sungai agar tidak sampai masuk ke sungai.

Penyangga riparian juga menstabilkan tebing sungai. Pohonan yang ditanam di sepanjang sungai juga lebih mendinginkan air sungai yang menciptakan lingkungan yang baik bagi pertumbuhan berbagai jenis binatang air.

Di berbagai negara bagian Amerika Serikat lebar strip riparian untuk Sungai Kelas I (sungai yang digunakan untuk air minum dan banyak ikan) lebar penyangga riparian adalah sekitar 75 kaki (24,6 m dibulatkan 25 meter) dengan kisaran antara 66 – 100 kaki, sedangkan untuk Sungai Kelas II (tidak untuk air minum dan tidak cukup banyak ikan) lebarnya adalah 5 kaki (1,6 m). Secara ideal, untuk sungai kelas I, strip riparian terdiri atas 4 sampai 5 baris pohonan ditanam berdekatan dan sejajar dengan sungai, kemudian satu atau dua baris semak-semak, dan selebar 20 – 24 kaki (6,5 – 8 m) rumput asli.

Di Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum menetapkan adanya garis sempadan sungai yang tujuannya adalah: (1) agar fungsi sungai termasuk danau dan waduk tidak terganggu oleh aktivitas yang berkembang di sekitarnya, (2) agar kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat sumber daya yang ada di sungai dapat memberikan hasil secara optimal sekaligus menjaga fungsi sungai, dan (3) agar daya rusak air terhadap sungai dan lingkungannya dapat dibatasi (Kepmen Pekerjaan Umum Nomor 63/PRT/1993, Pasal 3). Pada prinsipnya tujuan garis sempadan sungai sama dengan tujuan riparian. Adalah sangat sejalan jika garis sempadan sungai tersebut ditanami berbagai jenis vegetasi sehingga benar-benar menjadi jalur hijau.

Di dalam Kepmen Pekerjaan Umum Nomor: 63/PRT/1993 tersebut lebar garis sempadan sungai untuk tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 100 m bagi sungai besar (luas DAS >= 500 km2, sedangkan bagi sungai kecil (luas DAS < 500 km2 sekurang-kurangnya 50 m dari tepi sungai (Pasal 7). Untuk sungai-sungai di kawasan perkotaan, lebar garis sempadan sungai ditetapkan sekurang-kurangnya 10 m bagi sungai yang kedalamannya tidak lebih dri 3 m, dan 15 meter bagi sungai yang kedalamnnya lebih dari 3 m (Pasal 8), sedangkan bagi sungai yang kedalaman maksimumnya lebih dari 20 m, maka lebar garis sempadan sungai sekurang-kuranya 30 meter dari tepi sungai.

Sumber: Sitanala Arsyad (2006). “Konservasi Tanah dan Air”. Bogor: IPB Press. Halaman 153 – 154

sabuk resapan(informatif)



https://bebasbanjir2025.wordpress.com
Sabuk resapan adalah memanfaatkan tanah miring yang sudah diatur (terasering). Pada bagian tepi teras bagian bawah dibuat galian selebar 2–3 m dalam 0,6 – 1,0 m melingkar mengikuti kontur tanah. Dengan demikian saat hujan limpasan hujan dapat tertampung pada sabuk sepanjang kontur tanah tersebut dan mempunyai waktu untuk meresap kedalam tanah sebanyak-banyaknya. Sabuk resapan ini secara tidak langsung saya temukan di Madura saat mendampingi fieldtrip Mahasiswa Spesialis 1 PSDA 10 tahun yang lalu.

Sumber: Dr. Ir. Sri Legowo Wignyo Darsono, www.ftsl.itb.ac.id/kk/teknik_sumber_daya_air/wp-content/uploads/2007/09/ banjir-dan-kekeringan.pdf

Rorak/parit buntu(Informatif)


Rorak adalah lubang-lubang buntu dengan ukuran tertentu yang dibuat pada bidang olah dan sejajar dengan garis kontur. Fungsi rorak adalah untuk menjebak dan meresapkan air ke dalam tanah serta menampung sedimen-sedimen dari bidang olah.

Pembuatan rorak dapat dikombinasikan dengan mulsa vertikal untuk memperoleh kompos.

Rorak dan Pengendalian Banjir

Rorak adalah bangunan konservasi tanah dan air yang relatif mudah diuat. Adanya rorak akan menjebak aliran permukaan dan memberikan kesempatan kepada air hujan untuk terinfiltrasi ke dalam tanah. Dengan demikian rorak akan menurunkan aliran permukaan yang keluar dari persil lahan secara signifikan. Hal ini tentu saja akan ikut berkontribusi terhadap pengendalian banjir.

Ukuran dan Jarak Rorak

Ukuran dan jarak rorak yang direkomendasikan cukup beragam. Arsyad (2006) merekomendasikan dimensi rorak: dalam 60 cm, lebar 50 cm dengan panjang berkisar antara satu meter sampai 5 meter. Jarak ke samping disarankan agar sama dengan panjang rorak dan diatur penempatannya di lapangan dilakukan secara berselang-seling seperti pada gambar agar terdapat penutupan areal yang merata. Jarak searah lereng berkisar dari 10 sampai 15 meter pada lahan yang landai (3% – 8%) dan agak miring (8% – 15%), 5 sampai 3 meter untuk lereng yang miring (15% – 30%).

Direktorat Pengelolaan Lahan, Departemen Pertanian (2006), menerbitkan standar teknis pembangunan rorak/saluran buntu dalam upaya konservasi tanah dan air, yaitu:
Lahan berupa lahan kering/upland dan terletak dalam satu hamparan minimal seluas 8 hektar. Dalam satu hektar dibangun konstruksi rorak sebanyak 30 unit.
Panjang rorak/saluran buntu 5 meter, lebar 0,30 meter dan kedalaman 0,4 meter.
Kemiringan lahan 3 % s/d 30%. Untuk menjamin keberhasilan sebaiknya dipilih lahan yang tidak terlalu curam sehingga tidak diperlukan adanya pembangunan teras bangku yang relatif mahal.
Ketinggian tempat lebih rendah dari 1.500 meter di atas permukaan laut dimana berbagai jenis tanaman masih memungkinkan untuk diusahakan.
Lahan peka terhadap erosi.
Lahan masih diusahakan oleh petani, tetapi produktivitasnya telah mengalami degradasi/menurun.

Sumber: www.bpdas-inrok.net/peraturan/PEDOMAN%20TEKNIS%20RORAK.pdf





revitalisasi danau, telaga, atau situ (informatif)


telaga 
Revitalisasi danau, telaga, atau situ kaitannya dengan memanen air hujan sebaiknya dilakukan dengan konsep ekologi-hidraulik atau ekologi-hidrologi. Konsep ini diartikan sebagai upaya memperbaiki dan menyehatkan seluruh komponen ekologi (flora-fauna) dan hidraulik-hidrologi (sistem keairan) penyusun danau, telaga, atau situ yang bersangkutan, sehingga dapat berfungsi menampung air yang dapat digunakan untuk keperluan air bersih masyarakat, meresapkan air hujan untuk pengisian air tanah, dan dapat berkembang menjadi wilayah ekosistem wilayah danau, situ dan telaga yang hidup dan lestari

.Dasar filosofi pengelolaan danau atau telaga termasuk juga situ secara ekologi-hidraulik adalah berorientasi pada danau alami yang ada. Artinya bahwa dalam pengelolaannya berangkat dari danau alami, bukan berangkat dari filosofi reservoir atau kolam tandon bangunan sipil-hidro. Segala kondisi yang ditemui pada danau, telaga ataui situ alami coba diadopsi dan diterapkan pada telaga, danau atau situ yang direvitalisasi. Intinya adalah mengembalikan kondisi alamiah danau, telaga atau situ yang bersangkutan.

Danau atau telaga alami memenuhi kondisi ekologi hidraulik yaitu daerah tangkapan airnya bagus, komposisi dan heterogenitas tanamannya legkap, belum ada penggundulan hutan dan sistem tata air dan drainasenya masih alamiah; tumbuh vegetasi dan pohon-pohon besar yang melingkari danau atau telaga pada zona amphibi dan daratan (sempadan danau atau telaga) yang cukup rapat. Pohon dan vegetasi melingkar ini, secara umum dapat dibedakan menjadi tiga ring. Ring pertama pada umumnya ditumbuhi pohon-pohon besar yang biasa ada di daerah yang bersangkutan (misalnya pohon beringin di daerah Jawa). Ring kedua dipenuhi dengan pohon-pohon yang lebih kecil dan relatif kurang rapat dibanding dengan ring pertama. Ring ketiga atau ring luar berbatasan dengan daerah luar telaga, dengan tingkat kerapatan tanaman lebih jarang. Jika kondisi vegetasi di sekeliling danau atau telaga ini punah, maka dapat dipastikan bahwa umur telaga akan memendek, baik disebabkan oleh tingkat penguapan dan suhu yang tinggi maupun tingkat sedimentasi yang tinggi

Pada pengembangan danau, telaga , atau situ untuk pariwisata sering dilakukan dengan membuat sarana prasarana pariwisata tanpa memperhitungkan ekologi danau, telaga, atau situ tersebut. Dampaknya, sarana-prasarana tersebut justru mengambil areal vegetasi dan menjadi pemicu rusaknya ring-ring ekologi danau, telaga, atau situ tersebut. Oleh karena itu, selain perbaikan daerah tangkapan air yang masuk ke danau, telaga atau situ, juga upaya melestarikan dan menumbuhkan pohon-pohon dan vegetasi di sekelilingnya baik pada ring pertama, kedua dan ketiga. Pengembangan sarana pariwisata hendaknya diletakan di luar ring ketiga dan hendaknya mengacu pada konsep eko wisata.

Dalam konsep eko-hidraulik pembuatan talud melingkar harus sejauh mungkin dihindari, karena bangunan ini akan mematikan ekosistem secara destruktif, disamping talud tersebut tidak efektif untuk menahan rembesan air secara horisontal. Justru dengan penanaman vegetasi yang sesuai dengan kondisi setempat dapat menurunkan rembesan horisontal secara efektif, menahan longsoran, menurunkan suhu, menahan air dan meningkatkan kualitas ekosistem. Demikian juga dengan cara pengerukan dan pelapisan aspal akan berakibat sebaliknya yaitu menurunkan kualitas ekosistem dan bahkan menahan base flow.

Dalam revitalisasi danau, telaga, dan situ, dalam konteks memanen air hujan dapat dilakukan dengan menumbuhkan dan memelihara ekologi daerah sempadan (bantaran) danau, telaga atau situ. Danau, telaga dan situ yang lestari dapat dilihat dari kesuburan daerah sempadannya. Pada ring pertama banyak ditumbuhi tanaman-tanaman besar yang rapat, pada ring lingkaran kedua sempadan tersebut ditumbuhi tanaman-tanaman keras yang lebih kecil dari ring pertama, dan pada ring ketiga daerah sempadan danau tersebut banyak ditemukan tumbuhan-tumbuhan produksi yang relatif rapat.

Sumber: Agus Maryono dan Edy Nugroho Santoso (2006). Metode Memanen dan memanfaatkan Air Hujan untuk Penyediaan Air Bersih, Mencegah Banjir dan Kekeringan. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup

Sistem polder(Informatif)

polder
“Kawasan perkotaan seperti Jakarta, Semarng dan kota lain yang berada di kawasan rendah selalu dilanda banjir sehingga masyarakat setempat akan selalu mendapat masalah,” kata Penasehat Utama Kementerian Transportasi dan Pengairan Kerajaan Belanda, Prof Bart Schultz, di Jakarta, Selasa (3/7).

Sementara kondisi drainase yang kurang baik dan penumpukan sampah pada saluran air akibat warga kurang memiliki kesadaran lingkungan, menambah parah kondisi tersebut.

Apalagi saat ini dengan ada isu pemanasan global dan perubahan iklim berakibat terjadi naiknya air laut dan turunnya permukaan tanah akibat pengambilan air tanah, akan semakin menambah luasan kawasan genangan.

Selain itu, berdasarkan penelitian pakar dunia, terjadi naiknya permukaan air laut sekitar 19-58 cm/abad, perubahan kondisi sungai dan debit puncak sekitar 10-30 persen/abad serta meningkatnya curah hujan rata-rata hingga 45 persen/abad.

Untuk itu, katanya, pemerintah yang kawasannya berada di kawasan rendah seperti Indonesia harus mewaspadainya dengan cara mengoptimalkan segala sistem dan membangun infrastruktur dan sarana penting di kawasan yang relatif tinggi,

Sementara itu, Peneliti Madya Puslitbang SDA Departemen PU Joyce Marha Widjaya mengatakan, dalam mengembangkan sistem polder perkotaan harus dilakukan secara terintegrasi antara rencana tata ruang dan tata air utamanya pada kota-kota pantai yang memiliki cekungan.

Setiap tetes air buangan yang jatuh pada kawasan polder harus didrainase dengan bantuan pompa, dan untuk itu perlu disosialisasikan konsep pengendalian pengembangan sistem polder berkelanjutan sebagai langkah antisipasi terhadap perubahan akibat pembangunan yang sangat mempengaruhi dan berdampak pada lingkungan..

Sementara itu Forum Peduli Lingkungan Kelapa Gading, Firman, berharap dengan ada sistem polder tersebut dapat membantu kawasannya yang selalu tergenang akibat limpasnya air dari Danau sunter.

Dia berharap, sistem tersebut bisa dilaksanakan segera dan meminta pemda dan Dinas PU DKI memperhatikan pemasangan tanggul dan drainase, yang dinilai sudah tidak memadai dan airnya sering menggenangi perumahan sekitar meski hujannya sebentar.

Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Pluit Ir Agus Johan mengatakan,hingga saat ini penanganan masalah banjir dan lingkungan baru sebagian yang dijalankan dari yang disepakati.

Menurut dia, masih banyak masalah substansial polder Pluit yang perlu dicarikan solusinya oleh pemangku kepentingan, dengan terhindarnga kawasan Pluit dari genangan tahun 2007 yang lalu, bukan jaminan kawasan tersebut terhindar dari masalah banjir.

Sementara itu Kepala Bappeda Kota Semarang Ir M Farhan mengatakan, untuk mengatasi daerah genangan di kota Semarang pemerintah melakukan upaya pengendalian di daerah hulu dengan mengurangi daerah terbangun.

Dia mengarahkan memperbanyak fungsi konservasi guna mengurangi pendangkalan sungai dan menyebabkan terjadi perluasan genangan dan membangun waduk Jatibarang sebagai kolam retensi guna mengurangi air menuju hilir. (mf/toeb/c)

Sumber: http://depkominfo.go.id