Sumur injeksi untuk “menabung” air sebagai upaya konservasi cekungan air bawah tanah di Jakarta ternyata tidak dimanfaatkan. Alasannya sederhana. Air untuk diinjeksikan kurang layak. Akan tetapi, anehnya, tanpa pernah ada upaya memulihkan kelayakan airnya kembali supaya tujuan “menabung” air itu terlaksana.
Delapan tahun lampau, 1997/1998, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuat empat sumur injeksi. Masing-masing di kawasan Setu Babakan, Waduk Sunter, Pulo Mas, dan pinggir banjir kanal barat Ciliwung di Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat. Semuanya sekarang mangkrak.
“Tulisan ’Sumur Injeksi’ ini apa maksudnya?” kata Murtanto, salah seorang warga ketika melintas di pedestrian pinggir proyek banjir kanal barat Ciliwung di kawasan Jalan Latuharhari, Senin (4/12). Di lokasi itu terdapat salah satu sumur injeksi yang sebelumnya memanfaatkan suplai air untuk diinjeksikan dari banjir kanal Ciliwung.
Murtanto saat itu pun ikut sibuk menelaah keberadaan pipa berdiameter sekitar 20 sentimeter itu. Pipa sumur dipandangnya mengganggu sebagian jalan setapak yang memang baru saja diselesaikan di pinggir banjir kanal tersebut.
Dari permukaan tanah, tinggi pipa sekitar 80 sentimeter. Lokasinya berjarak lima meter dari bibir proyek banjir kanal. Separuh bagian, dimulai dari pangkal pipa, terbungkus drum yang di dalamnya ada perkerasan semen.
Pada lapisan atas perkerasan semen itu terpampang prasasti batu marmer bertuliskan, “Sumur Injeksi”. Tulisan inilah yang dipertanyakan Murtanto. Selain itu, terpampang pula tulisan, “Dinas Pertambangan DKI Jakarta” dan “Tahun Anggaran 1997-1998″.
Berjarak sekitar 10 meter dari sumur injeksi yang diapit jalur rel kereta api antara Stasiun Dukuh Atas-Manggarai dengan proyek banjir kanal barat Ciliwung itu terdapat sumur pantau. Prasasti marmer yang menunjukkan kepastian akan adanya sumur pantau tersebut.
Sumur injeksi dan sumur pantau memang berkaitan. Sumur pantau untuk mengukur atau memantau muka air tanah, sedangkan sumur injeksi untuk memasukkan air ke dalam tanah ketika muka air tanah terpantau kritis. Sumur pantau itu pun tampak sudah tidak pernah lagi digunakan.
Masyarakat umumnya lebih mengenal istilah sumur resapan. Pada prinsipnya, antara sumur injeksi dengan sumur resapan bertujuan sama, yaitu mengembalikan air ke dalam tanah. Namun, kapasitas air yang dimasukkan melalui sumur injeksi akan jauh lebih besar daripada sumur resapan, karena ditekan dengan mesin pemompa.
Air bawah tanah
Keberadaan sumur pantau dan sumur injeksi di pinggir banjir kanal pantas saja menjadi pertanyaan Murtanto maupun warga lainnya yang sering melintasinya. Baru setelah mendapatkan sedikit gambaran bahwa fungsi kedua sumur untuk konservasi lingkungan, terutama untuk konservasi air bawah tanah tersebut, Murtanto sedikit berkomentar, “Kalau pemerintah saja malas berbuat untuk konservasi air, bagaimana dengan warganya?”
Memasukkan air bersih sebanyak-banyaknya ke dalam tanah melalui sumur injeksi merupakan bagian penting upaya konservasi cekungan air bawah tanah. Selama ini, konservasi tersebut masih diabaikan.
“Konservasi cekungan air bawah tanah harus terpadu dengan konservasi daerah aliran sungai. Manajemen yang ada di Indonesia baru sekadar konservasi beberapa daerah aliran sungai. Ada istilah one river, one management (satu sungai, satu manajemen), tetapi belum pernah terwujud one basin, one management (satu cekungan air bawah tanah, satu manajemen),” kata Danaryanto, Kepala Subdirektorat Pengelolaan Konservasi Panas Bumi dan Air Tanah pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Sumur injeksi, kata dia, merupakan metode paling optimal untuk mengembalikan kadar air bawah tanah. Namun, percuma saja kalau air yang diinjeksikan tidak bersih atau tercemar.
Pipa pada sumur injeksi di lapisan pasir, lanjut dia, biasanya diberi saringan untuk penyerapan air ke dalam tanah. Ketika airnya kotor, saringan akan cepat tersumbat. Kalau air tercemar, akan sangat merugikan kondisi cekungan air bawah tanah.
“Persoalan yang timbul sekarang, air bersih yang akan diinjeksikan itu tidak pernah tersedia. Sebab, air bersih untuk kebutuhan warga sehari-hari saja masih mengalami kekurangan,” kata Danaryanto.
Ia menyebutkan pernah membuat sumur injeksi di Kapuk, Jakarta Utara. Akan tetapi, lama-kelamaan tidak pernah tersedia air bersih untuk diinjeksikan karena warga Kapuk sendiri kekurangan air bersih.
Kondisi kritis cekungan air bawah tanah, menurut Danaryanto, saat ini tidak hanya dihadapi di Jakarta. Di berbagai wilayah di Indonesia banyak ditemui kondisi kritis tersebut.
“Untuk menguji ketersediaan air bawah tanah yang masih bagus, jika dibor pada kedalaman tertentu akan menjadi sumur artesis. Air akan mengalir ke permukaan tanah dengan sendirinya melalui pipa yang diborkan,” jelasnya.
Jangankan sumur artesis, sumur-sumur bor yang disedot dengan mesin pompa saja sekarang susah didapat. Kalaupun air dapat diperoleh, kandungannya pun sudah sangat polutan, terutama di wilayah Jakarta Selatan bagian utara hingga wilayah Jakarta Utara. Satu-satunya harapan bertumpu pada persediaan air bersih yang didistribusikan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Menurut Kepala Subdinas Bina Usaha Air Bawah Tanah dan Bahan Galian pada Dinas Pertambangan DKI Jakarta, Dian Wiwekowati, saat ini belum ada upaya untuk memfungsikan kembali sumur-sumur injeksi yang ada di Jakarta. “Upaya mengendalikan pemanfaatan air bawah tanah masih sebatas pada pembatasan kapasitas air bawah tanah yang diambil melalui pengeboran-pengeboran,” katanya.
Izin pengambilan air sumur dalam, lanjut Dian, dibatasi kapasitas 100 meter kubik per hari. Saat ini diberikan 2.100 perizinan pemanfaatan air bawah tanah dengan sumur dalam. Adapun untuk sumur dangkal diberikan 1.500 perizinan dengan kapasitas pengambilan lima meter kubik per hari. Sesuai Deklarasi Kota Hijau yang turut ditandatangani Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di San Fransisco, Amerika Serikat, pada tahun 2005, diharapkan pada tahun 2012 sudah dapat dihentikan pemanfaatan air tanah tersebut.
Pemanfaatan air bawah tanah itu kemudian seharusnya digantikan dengan pemanfaatan air permukaan. Di Jakarta air permukaan yang diambil untuk PDAM berasal dari Waduk Jatiluhur dengan sumber aliran dari Sungai Citarum. Kapasitas air baku itu pun sering dikeluhkan operator PDAM DKI, PT Thames Pam Jaya (TPJ) dan PT Pam Lyonaisse Jaya (Palyja), karena debitnya kurang atau kualitas airnya buruk.
Untuk menghambat atau melarang pemanfaatan air bawah tanah, kemudian beralih pada pemanfaatan air permukaan, memang tidak akan mudah.
“Pemanfaatan air bawah tanah selama ini menunjukkan sebagai bentuk ketidakmampuan dalam mendistribusikan hasil pengolahan air permukaan kepada masyarakatnya,” kata Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Jawa Tengah Edi Haryono, saat menjadi pembicara lokakarya “Konsolidasi Penyelenggaraan Pengelolaan Air Tanah” yang diselenggarakan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sudah jelas, pemanfaatan air bawah tanah kurang bagus untuk konservasi lingkungan. Namun, di berbagai wilayah di Indonesia hal itu tak terhindarkan.
Saat ini, mengisi kembali kandungan air bawah tanah melalui sumur injeksi memang bukanlah satu-satunya langkah paling efektif untuk menyelamatkan kondisi air bawah tanah. Akan tetapi, selagi pemanfaatan air bawah tanah masih saja terus berlangsung dan sulit dihambat, lebih baik sumur injeksi kembali dimanfaatkan.
Sumber: Kompas, Sabtu, 09 Desember 2006 ; http://64.203.71.11/kompas-cetak/0612/09/humaniora/3153948.htm
Delapan tahun lampau, 1997/1998, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuat empat sumur injeksi. Masing-masing di kawasan Setu Babakan, Waduk Sunter, Pulo Mas, dan pinggir banjir kanal barat Ciliwung di Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat. Semuanya sekarang mangkrak.
“Tulisan ’Sumur Injeksi’ ini apa maksudnya?” kata Murtanto, salah seorang warga ketika melintas di pedestrian pinggir proyek banjir kanal barat Ciliwung di kawasan Jalan Latuharhari, Senin (4/12). Di lokasi itu terdapat salah satu sumur injeksi yang sebelumnya memanfaatkan suplai air untuk diinjeksikan dari banjir kanal Ciliwung.
Murtanto saat itu pun ikut sibuk menelaah keberadaan pipa berdiameter sekitar 20 sentimeter itu. Pipa sumur dipandangnya mengganggu sebagian jalan setapak yang memang baru saja diselesaikan di pinggir banjir kanal tersebut.
Dari permukaan tanah, tinggi pipa sekitar 80 sentimeter. Lokasinya berjarak lima meter dari bibir proyek banjir kanal. Separuh bagian, dimulai dari pangkal pipa, terbungkus drum yang di dalamnya ada perkerasan semen.
Pada lapisan atas perkerasan semen itu terpampang prasasti batu marmer bertuliskan, “Sumur Injeksi”. Tulisan inilah yang dipertanyakan Murtanto. Selain itu, terpampang pula tulisan, “Dinas Pertambangan DKI Jakarta” dan “Tahun Anggaran 1997-1998″.
Berjarak sekitar 10 meter dari sumur injeksi yang diapit jalur rel kereta api antara Stasiun Dukuh Atas-Manggarai dengan proyek banjir kanal barat Ciliwung itu terdapat sumur pantau. Prasasti marmer yang menunjukkan kepastian akan adanya sumur pantau tersebut.
Sumur injeksi dan sumur pantau memang berkaitan. Sumur pantau untuk mengukur atau memantau muka air tanah, sedangkan sumur injeksi untuk memasukkan air ke dalam tanah ketika muka air tanah terpantau kritis. Sumur pantau itu pun tampak sudah tidak pernah lagi digunakan.
Masyarakat umumnya lebih mengenal istilah sumur resapan. Pada prinsipnya, antara sumur injeksi dengan sumur resapan bertujuan sama, yaitu mengembalikan air ke dalam tanah. Namun, kapasitas air yang dimasukkan melalui sumur injeksi akan jauh lebih besar daripada sumur resapan, karena ditekan dengan mesin pemompa.
Air bawah tanah
Keberadaan sumur pantau dan sumur injeksi di pinggir banjir kanal pantas saja menjadi pertanyaan Murtanto maupun warga lainnya yang sering melintasinya. Baru setelah mendapatkan sedikit gambaran bahwa fungsi kedua sumur untuk konservasi lingkungan, terutama untuk konservasi air bawah tanah tersebut, Murtanto sedikit berkomentar, “Kalau pemerintah saja malas berbuat untuk konservasi air, bagaimana dengan warganya?”
Memasukkan air bersih sebanyak-banyaknya ke dalam tanah melalui sumur injeksi merupakan bagian penting upaya konservasi cekungan air bawah tanah. Selama ini, konservasi tersebut masih diabaikan.
“Konservasi cekungan air bawah tanah harus terpadu dengan konservasi daerah aliran sungai. Manajemen yang ada di Indonesia baru sekadar konservasi beberapa daerah aliran sungai. Ada istilah one river, one management (satu sungai, satu manajemen), tetapi belum pernah terwujud one basin, one management (satu cekungan air bawah tanah, satu manajemen),” kata Danaryanto, Kepala Subdirektorat Pengelolaan Konservasi Panas Bumi dan Air Tanah pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Sumur injeksi, kata dia, merupakan metode paling optimal untuk mengembalikan kadar air bawah tanah. Namun, percuma saja kalau air yang diinjeksikan tidak bersih atau tercemar.
Pipa pada sumur injeksi di lapisan pasir, lanjut dia, biasanya diberi saringan untuk penyerapan air ke dalam tanah. Ketika airnya kotor, saringan akan cepat tersumbat. Kalau air tercemar, akan sangat merugikan kondisi cekungan air bawah tanah.
“Persoalan yang timbul sekarang, air bersih yang akan diinjeksikan itu tidak pernah tersedia. Sebab, air bersih untuk kebutuhan warga sehari-hari saja masih mengalami kekurangan,” kata Danaryanto.
Ia menyebutkan pernah membuat sumur injeksi di Kapuk, Jakarta Utara. Akan tetapi, lama-kelamaan tidak pernah tersedia air bersih untuk diinjeksikan karena warga Kapuk sendiri kekurangan air bersih.
Kondisi kritis cekungan air bawah tanah, menurut Danaryanto, saat ini tidak hanya dihadapi di Jakarta. Di berbagai wilayah di Indonesia banyak ditemui kondisi kritis tersebut.
“Untuk menguji ketersediaan air bawah tanah yang masih bagus, jika dibor pada kedalaman tertentu akan menjadi sumur artesis. Air akan mengalir ke permukaan tanah dengan sendirinya melalui pipa yang diborkan,” jelasnya.
Jangankan sumur artesis, sumur-sumur bor yang disedot dengan mesin pompa saja sekarang susah didapat. Kalaupun air dapat diperoleh, kandungannya pun sudah sangat polutan, terutama di wilayah Jakarta Selatan bagian utara hingga wilayah Jakarta Utara. Satu-satunya harapan bertumpu pada persediaan air bersih yang didistribusikan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Menurut Kepala Subdinas Bina Usaha Air Bawah Tanah dan Bahan Galian pada Dinas Pertambangan DKI Jakarta, Dian Wiwekowati, saat ini belum ada upaya untuk memfungsikan kembali sumur-sumur injeksi yang ada di Jakarta. “Upaya mengendalikan pemanfaatan air bawah tanah masih sebatas pada pembatasan kapasitas air bawah tanah yang diambil melalui pengeboran-pengeboran,” katanya.
Izin pengambilan air sumur dalam, lanjut Dian, dibatasi kapasitas 100 meter kubik per hari. Saat ini diberikan 2.100 perizinan pemanfaatan air bawah tanah dengan sumur dalam. Adapun untuk sumur dangkal diberikan 1.500 perizinan dengan kapasitas pengambilan lima meter kubik per hari. Sesuai Deklarasi Kota Hijau yang turut ditandatangani Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di San Fransisco, Amerika Serikat, pada tahun 2005, diharapkan pada tahun 2012 sudah dapat dihentikan pemanfaatan air tanah tersebut.
Pemanfaatan air bawah tanah itu kemudian seharusnya digantikan dengan pemanfaatan air permukaan. Di Jakarta air permukaan yang diambil untuk PDAM berasal dari Waduk Jatiluhur dengan sumber aliran dari Sungai Citarum. Kapasitas air baku itu pun sering dikeluhkan operator PDAM DKI, PT Thames Pam Jaya (TPJ) dan PT Pam Lyonaisse Jaya (Palyja), karena debitnya kurang atau kualitas airnya buruk.
Untuk menghambat atau melarang pemanfaatan air bawah tanah, kemudian beralih pada pemanfaatan air permukaan, memang tidak akan mudah.
“Pemanfaatan air bawah tanah selama ini menunjukkan sebagai bentuk ketidakmampuan dalam mendistribusikan hasil pengolahan air permukaan kepada masyarakatnya,” kata Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Jawa Tengah Edi Haryono, saat menjadi pembicara lokakarya “Konsolidasi Penyelenggaraan Pengelolaan Air Tanah” yang diselenggarakan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sudah jelas, pemanfaatan air bawah tanah kurang bagus untuk konservasi lingkungan. Namun, di berbagai wilayah di Indonesia hal itu tak terhindarkan.
Saat ini, mengisi kembali kandungan air bawah tanah melalui sumur injeksi memang bukanlah satu-satunya langkah paling efektif untuk menyelamatkan kondisi air bawah tanah. Akan tetapi, selagi pemanfaatan air bawah tanah masih saja terus berlangsung dan sulit dihambat, lebih baik sumur injeksi kembali dimanfaatkan.
Sumber: Kompas, Sabtu, 09 Desember 2006 ; http://64.203.71.11/kompas-cetak/0612/09/humaniora/3153948.htm
No comments :
Post a Comment