http://www.ristek.go.id |
Indonesia pada minggu terakhir bulan Januari hingga Februari 2008. Prakiraan ini didasarkan pada perilaku
gelombang atmosfer yang dominan memengaruhi cuaca saat ini, yaitu gelombang intramusim yang dikenal dengan Madden Julian Oscillation (MJO).
Berdasarkan pemantauan gelombang MJO kemudian sudah meninggalkan wilayah Indonesia dan berada di sebelah timur wilayah Indonesia. Dalam waktu beberapa hari ini, gugus awan ini kembali berada di sebelah barat wilayah Indonesia (Samudra Indonesia). Di Indonesia bagian barat, seperti Jakarta dan Sumatera, tumbuh awan-awan konvektif yang biasanya turun menjadi hujan pada siang hingga sore hari. Ketika gugus awan sudah berada di wilayah Indonesia, hujan akan turun sepanjang hari dan malam, seperti terjadi akhir-akhir ini. Pada saat inilah peluang terjadinya banjir di wilayah Indonesia sangat besar.
Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi terjadinya banjir ini? Tanpa mengecilkan arti dari
berbagai upaya yang telah dilakukan berbagai pihak, sebenarnya Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mempunyai kemampuan antisipasi banjir dengan sebuah teknologi untuk memodifikasi cuaca.
Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) selama ini banyak berfungsi untuk menambah curah hujan. Dalam fungsinya menambah curah hujan, teknologi ini dilaksanakan dengan memasukkan bahan semai yang bersifat higroskopis dengan ukuran 1-100 mikron (µ).
gelombang atmosfer yang dominan memengaruhi cuaca saat ini, yaitu gelombang intramusim yang dikenal dengan Madden Julian Oscillation (MJO).
Berdasarkan pemantauan gelombang MJO kemudian sudah meninggalkan wilayah Indonesia dan berada di sebelah timur wilayah Indonesia. Dalam waktu beberapa hari ini, gugus awan ini kembali berada di sebelah barat wilayah Indonesia (Samudra Indonesia). Di Indonesia bagian barat, seperti Jakarta dan Sumatera, tumbuh awan-awan konvektif yang biasanya turun menjadi hujan pada siang hingga sore hari. Ketika gugus awan sudah berada di wilayah Indonesia, hujan akan turun sepanjang hari dan malam, seperti terjadi akhir-akhir ini. Pada saat inilah peluang terjadinya banjir di wilayah Indonesia sangat besar.
Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi terjadinya banjir ini? Tanpa mengecilkan arti dari
berbagai upaya yang telah dilakukan berbagai pihak, sebenarnya Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mempunyai kemampuan antisipasi banjir dengan sebuah teknologi untuk memodifikasi cuaca.
Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) selama ini banyak berfungsi untuk menambah curah hujan. Dalam fungsinya menambah curah hujan, teknologi ini dilaksanakan dengan memasukkan bahan semai yang bersifat higroskopis dengan ukuran 1-100 mikron (µ).
Bahan semai yang berukuran kurang dari 10 µ ini berfungsi untuk meningkatkan energi awan sehingga menambah suplai uap air yang masuk ke dalam sistem awan.
Sedangkan bahan semai yang berukuran lebih dari 10 µ berfungsi mempercepat proses-proses di dalam awan sehingga cepat turun menjadi hujan.
Dalam usaha menambah curah hujan, awan yang disemai adalah awan yang diperkirakan akan turun menjadi hujan di daerah yang memerlukan tambahan hujan.
Modifikasi teknologi TMC
Kemudian bagaimana TMC bisa mengantisipasi banjir? Dengan mempertimbangkan konsep TMC untuk menambah curah hujan, dengan sedikit saja modifikasi, teknologi ini juga bisa digunakan untuk mengantisipasi (atau bisa diartikan mencegah) terjadinya banjir (akibat curah hujan tinggi).
Modifikasi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Bahan semai yang digunakan adalah bahan semai higroskopis dengan ukuran lebih dari 10 µ-100 µ. Agar lebih aman dari kemungkinan terjadinya peningkatan curah hujan, bisa saja digunakan bahan semai higroskopis dengan ukuran 30-100 µ. Dengan cara ini, penyemaian awan hanya bertujuan untuk mempercepat terjadinya hujan. Mekanisme ini disebut juga sebagai jumping process.
Awan-awan yang disemai adalah awan-awan yang masih berada di atas laut dan diperkirakan (dengan mengukur kecepatan angin dan posisi awan) dalam tiga jam ke depan masih berada di atas laut. Dengan cara ini, bisa dipastikan awan-awan yang disemai akan jatuh di lautan karena awan-awan yang disemai akan turun menjadi hujan dalam waktu kurang dari dua jam akibat mekanisme
jumping process.
Dari segi teknis, teknologi ini tidak terlalu sulit dilaksanakan BPPT karena BPPT (melalui bagian
organisasinya, yaitu Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan) sudah mempunyai pengalaman puluhan tahun dan sekarang sudah memiliki alat-alat canggih untuk melakukan tugas-tugas seperti yang penulis sebutkan di atas.
Akan tetapi, bagaimanapun, teknologi ini tidak bisa menjamin untuk tidak akan terjadinya banjir di wilayah
Indonesia. Meski demikian, teknologi ini akan cukup signifikan dalam mengurangi curah hujan yang jatuh di wilayah daratan Indonesia, yang pada akhirnya bisa mengurangi peluang terjadinya banjir.
Hanya masalahnya, cukupkah keberanian kita untuk mengantisipasi/mencegah sesuatu (bencana sekalipun) yang belum terjadi (meskipun secara saintifik berpeluang besar untuk terjadi)?
Sedangkan bahan semai yang berukuran lebih dari 10 µ berfungsi mempercepat proses-proses di dalam awan sehingga cepat turun menjadi hujan.
Dalam usaha menambah curah hujan, awan yang disemai adalah awan yang diperkirakan akan turun menjadi hujan di daerah yang memerlukan tambahan hujan.
Modifikasi teknologi TMC
Kemudian bagaimana TMC bisa mengantisipasi banjir? Dengan mempertimbangkan konsep TMC untuk menambah curah hujan, dengan sedikit saja modifikasi, teknologi ini juga bisa digunakan untuk mengantisipasi (atau bisa diartikan mencegah) terjadinya banjir (akibat curah hujan tinggi).
Modifikasi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Bahan semai yang digunakan adalah bahan semai higroskopis dengan ukuran lebih dari 10 µ-100 µ. Agar lebih aman dari kemungkinan terjadinya peningkatan curah hujan, bisa saja digunakan bahan semai higroskopis dengan ukuran 30-100 µ. Dengan cara ini, penyemaian awan hanya bertujuan untuk mempercepat terjadinya hujan. Mekanisme ini disebut juga sebagai jumping process.
Awan-awan yang disemai adalah awan-awan yang masih berada di atas laut dan diperkirakan (dengan mengukur kecepatan angin dan posisi awan) dalam tiga jam ke depan masih berada di atas laut. Dengan cara ini, bisa dipastikan awan-awan yang disemai akan jatuh di lautan karena awan-awan yang disemai akan turun menjadi hujan dalam waktu kurang dari dua jam akibat mekanisme
jumping process.
Dari segi teknis, teknologi ini tidak terlalu sulit dilaksanakan BPPT karena BPPT (melalui bagian
organisasinya, yaitu Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan) sudah mempunyai pengalaman puluhan tahun dan sekarang sudah memiliki alat-alat canggih untuk melakukan tugas-tugas seperti yang penulis sebutkan di atas.
Akan tetapi, bagaimanapun, teknologi ini tidak bisa menjamin untuk tidak akan terjadinya banjir di wilayah
Indonesia. Meski demikian, teknologi ini akan cukup signifikan dalam mengurangi curah hujan yang jatuh di wilayah daratan Indonesia, yang pada akhirnya bisa mengurangi peluang terjadinya banjir.
Hanya masalahnya, cukupkah keberanian kita untuk mengantisipasi/mencegah sesuatu (bencana sekalipun) yang belum terjadi (meskipun secara saintifik berpeluang besar untuk terjadi)?
TRI HANDOKO SETO Peneliti dan Praktisi TMC di BPPT
Sumber:http://www.opensubscriber.com/message/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/8642960.html; Rabu, 20 Februari 2008 | 01:58 WIB
No comments :
Post a Comment