DAS bantas |
“Mengapa petani-petani di satu DAS tidak mempraktekan teknik konservasi tanah dan air di persil lahannya?”
“Mengapa masih ada warga DAS yang membuang sampah ke sungai?”
“Mengapa sebagian warga DAS membangun sumur resapan atau lubang resapan biopori di persil pekarangan rumahnya dan sebagian lainnya, bahkan terbanyak, tidak melakukannya?”
“Mengapa sebagian warga DAS memelihara tanaman yang ditanaman dalam rangka Gerhan dan sebagian lainnya tidak peduli?”
“Mengapa sebagian warga DAS konsisten mengikuti aturan tentang koefisien dasar bangunan (KDB) dan sebagian lainnya melanggar?”
“Apakah setiap warga mengetahui di DAS mana ia tinggal?”
Ikhtiar untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu tampaknya alpa kita lakukan secara serius. Kita lebih asyik melakukan berbagai kajian skala DAS, membuat simulasi dengan menggunakan berbagai softwarepemodelan, dan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi dengan pendeatan biofisik, ketimbang berupaya memahami apa yang berada dalam konstruksi berpikir para petani, konstruksi berpikir para warga pemilik persil lahan permukiman, dan terutama konstruksi berpikir di kalangan birokrasi.
Seorang profesor di bidang kehutanan, setelah bergulat panjang dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan kehutanan sampai pada satu kesimpulan: “Forest management is not about trees. It’s about people.”
Profesor Emeritus Sitanala Arsyad, mantan rektor IPB, dan penulis buku: “Konservasi Tanah dan Air”, ketika memberikan sumbangan tulisan dalam Buku Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air rangka Kongres MKTI akhir tahun 2007, membuat tulisan” “Dimensi Manusia dalam Konservasi Tanah dan Air.”
Ada satu pengakuan yang tulus yang dikemukakan dalam tulisan itu: “Meskipun penelitian mengenai metode atau teknologi yang berkaitan dengan konservasi tanah dan air yang bertujuan mencari teknologi untuk mencegah kerusakan tanah dan meningkatkan produktivitas lahan telah berjalan sekitar 40 tahun di Indonesia, penerapan hasil penelitian mengenai teknologi konservasi tanah dan air di Indonesia masih sangat minimum. Tingkat dan luas areal tererosi bertambah, sedangkan produktivitas pertanian lahan kering tidak banyak meningkat.”
Lebih lanjut diakui: “Jika aspek sumberdaya fisik alami yang mempengaruhi erosi cukup banyak diteliti, penelitian aspek manusia dari masalah erosi di Indonesia sangat sedikit atau mungkin tidak ada.”
(Arsyad, 2007).
No comments :
Post a Comment