Oleh : M. DJOKO SRIHONO
Pria ini lahir di Surakarta (Jawa Tengah) pada 13 Maret 1946. Sejak kecil gemar mengamati dan meneliti. Pada suatu pagi, ia memperhatikan ibunya yang sedang memasak. Diperhatikannya, bila sayur yang dimasak ibunya terlalu asin maka ibunya akan menambahkan kentang ke dalam sayur itu. Tersimpul dalam pikirannya, ternyata kentang bisa mengurangi rasa asin. Lalu ia mencoba membuat sendiri sari kentang yang kemudian ia pakai untuk mengurangi rasa asin. Ternyata keasinan tidak berkurang. Perhatiannya beralih pada pati kentang yang digunakan untuk membuat sari kentang tadi. Maka kemudian tepung pati kentang dicobanya, ternyata berhasil.
Adalah suatu budaya yang lazim, para lelaki di lingkungannya memelihara burung perkutut. Setiap sangkar burung biasanya memiliki tempat air minum dan biasanya diberi tumbuhan patah tulang (Eforbia ferocalli). Hal ini menarik perhatiannya. Kemudian ia mengetahui bahwa pemberian jenis tumbuhan tsb ternyata dapat mencegah timbulnya bau akibat kontaminasi air dan makanan burung. Ia tidak berhenti sampai di situ. Ia pun mencoba dengan berbagai tumbuhan lainnya. Jelaslah, ia sudah memiliki bakat dan perhatian untuk menjadi inovator.
Pendidikan yang dijalani mengantarnya sampai ke jenjang perguruan tinggi, yaitu Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Di sini ia bertemu dengan seorang teman yang juga gemar meneliti. Temannya ini seorang perokok berat. Karena uang sakunya tak mencukupi, terpaksa kadangkala mengkonsumsi tembakau bekas puntung rokok yang harganya lebih murah. Tentu saja yang murah belum tentu nikmat. Itulah yang terjadi pada tembakau bekas itu. Namanya saja bekas, sehingga rasa bekas sukar hilang dari tembakau itu. Jadilah sepasang sahabat ini meneliti cara menghilangkan rasa bekas dari tembakau puntung rokok itu. Fakultas farmasi membuatnya mengerti kimia dan membukakan pintu untuk meneliti apapun. Tak kurang dari itu, ia jadi mengetahui hampir semua sifat dari senyawa kimia yang ada. Kalaupun ada yang belum sempat diketahuinya, itu adalah kimia polimer. Tetapi itu tidak mengurangi kreatifitasnya. Kali berikutnya, ia dihadapkan pada masalah pengadaan air.
Banyak masyarakat di Indonesia dihadapkan pada masalah pengadaan air. Banyak pula diantara mereka terpaksa menggunakan air permukaan seperti air rawa/gambut, sungai, telaga dan air genangan/kubangan. Ini biasanya terjadi di daerah Kalimantan, Riau, Papua, Bangka dan sebagainya. Penggunaan air yang demikian secara higienis tentu tidak layak. Selain masalah ketercemaran air oleh zat kimia dan jasad renik yang merugikan, air tersebut juga tidak jernih. Untuk menjernihkan air, cara yang biasa dipakai adalah menggunakan tawas dan kapur yang bisa mengendapkan kotoran pengeruh air. Tetapi masalahnya tidak semua air bisa dijernihkan dengan cara itu, misalnya air rawa/gambut yang berwarna coklat kemerahan. Lagipula tawas adalah bahan kimia yang tidak selalu tersedia di pedesaan Indonesia. Terlebih lagi kapur yang diperlukan untuk menurunkan kadar asam (pH) air rawa/gambut hingga layak guna.
berangkat dari masalah yang ada itu, mulailah ia mencari kemungkinan penggunaan bahan lokal yang bisa digunakan. Inilah cara unik dari Djoko yang lulusan fakultas farmasi. Ia berimajinasi. Jadilah proses uji coba dan reaksi yang biasanya di laboratorium berpindah ke laboratorium imajinerdi otak Djoko. Ia cukup mengkhayalkan: bahan kimia ini yang sifatnya begini direaksikan dengan bahan kimia itu yang sifatnya begitu maka diperkirakan hasil reaksinya adalah anu. Setelah cukup yakin dengan imajinasinya itu, barulah ia melakukan percobaan reaksi yang sesungguhnya. Imajinasi ini tentunya ditunjang oleh pengetahuan yang memadai tentang sifat-sifat berbagai senyawa kimia yang diketahuinya semasa kuliah. Dengan cara demikian ia menghemat biaya yang biasanya diperlukan untuk pengadaan alat dan bahan percobaan.
Menurut Djoko, biasanya orang masih menggunakan tawas atau ferri klorida (FeCl3) untukmenjernihkan air. Memikirkan tentang penjernihan air membawanya kepada suatu logika. Logika ini menurut Djoko belum terpikirkan orang lain yang berkecimpung di masalah penjernihan dan pemurnian air. Yaitu bahwa pada dasarnya kekeruhan air disebabkan oleh senyawa kimia, karena itu penting sekali dipahami bentuk molekul senyawa tersebut untuk kemudian dicari gugus molekul yang bisa “diganggu”. Kalau gugus molekul itu bisa “diganggu” maka keseluruhan molekul senyawa akan goyah. Bila ini terjadi maka pengotor itu bisa dipisahkan dari air dan air menjadi jernih.
Dengan logika seperti itu, Djoko cukup optimis untuk mengatakan, “Sanggup menjernihkan air limbah apa saja kecuali limbah nuklir dan limbah polimer karena saya belum belajar tentang itu”. Penjernih air sebagai solusi, menurut pandangannya harus memenuhi syarat: mudah dan murah. Mudah berarti tidak diperlukan keahlian khusus dan prosedur yang rumit untuk melaksanakannya. Murah berarti biaya yang diperlukan relatif tidak mahal. Memang itulah kenyataannya. Djoko menjelaskan untuk menjernihkan air sebanyak 1 m3 (1.000 liter) dibutuhkan 2 gram formula penjernih temuannya. Bandingkan dengan pemakaian 200 gram air kapur yang diperlukan untuk mengolah air gambut sebanyak jumlah yang sama.
Tidak hanya formula penjernih, tetapi Djoko juga telah merancang alat yang digunakan untuk menjernihkan air. Alat tersebut berupa tabung atau pipa pencampur terbuat dari bahan PVC atau paralon sepanjang + 50 cm dengan tiga lobang yang diberi tiga selang plastik. Ketiga selang tersebut nantinya masing-masing untuk dihubungkan dengan larutan formula penjernih, larutan tawas dan larutan kaporit sebagai disinfektan bila diperlukan. (Erwan R)
Sumber: Majalah Zaitun Khatulistiwa, Agustus 2005.