Pratinjau

14 Dec 2012

Retarding basin untuk jakarta(informatif)



https://bebasbanjir2025.files.wordpress.com/2008/10/im2.jpg
Adakah metode efektif yang ramah lingkungan untuk mengatasi banjir sekaligus bisa dimanfaatkan untuk mengatasi kekeringan kota?Oleh banyak negara, masalah serupa diselesaikan dengan metode retarding basin ramah lingkungan. Filosofi metode ini adalah mencegat air yang mengalir dari hulu dengan membuat kolam-kolam retensi (retarding basin) sebelum masuk ke hilir. Retarding basin dibuat di bagian tengah dan hulu kanan-kiri alur sungai-sungai yang masuk kawasan yang akan diselamatkan.

Contoh implementasi metode retarding basin adalah penyelesaian banjir di wilayah hilir Sungai Rhine di Eropa. Untuk mengurangi banjir yang menerjang kota-kota di wilayah Jerman dan Belanda bagian hilir, dimulailah (integriertes Rheisprogram) dengan membuat retarding basin-retarding basin di sepanjang

Sungai Rhine di bagian tengah dan hulu, mulai dari kota Karslruhe (di perbatasan Perancis dan Jerman) sampai ke kota Bassel di perbatasan Jerman, Swiss, dan Austria.

Retarding basin ini dibangun untuk memotong debit puncak banjir Sungai Rhine yang akan menyusur menuju hilir masuk kota-kota penting, seperti Koeln, Dusseldorf, dan akhirnya Rotterdam. Volume air bah pada puncak banjir akan disimpan di retarding basin selama banjir berlangsung dan akan dikeluarkan setelah banjir reda. Retarding basin ini terbukti efektif menurunkan banjir yang terjadi di sepanjang Sungai Rhine di bagian hilir.

Program pembangunan retarding basin besar-besaran ini terus dikerjakan mengingat keberhasilannya cukup signifikan dan efeknya bagi perbaikan kualitas lingkungan serta konservasi air di daerah tengah dan hulu tinggi.
 
Penyimpan air
Fungsi retarding basin selain untuk memangkas puncak banjir, juga sebagai penyimpan air untuk dilepaskan pada saat musim kemarau dan meningkatkan konservasi air tanah karena selama air tertahan peresapan air terjadi. Dengan adanya cadangan di retarding basin, pada musim kemarau air dapat dipakai untuk penggelontoran saluran drainase dan sungai-sungai di daerah hilir.

Retarding basin harus didesain ramah lingkungan, artinya bangunannya cukup dibuat dengan mengeruk dan melebarkan bantaran sungai, memanfaatkan sungai mati atau sungai purba yang ada, memanfaatkan cekungan-cekungan, situ, dan rawa-rawa yang masih ada di sepanjang sungai, dan dengan pengerukan areal di tepi sungai untuk dijadikan kolam retarding basin.

Disarankan, dinding retarding basin tidak diperkuat dengan pasangan batu atau beton karena selain harganya amat mahal, juga tidak ramah lingkungan dan kontraproduktif dengan ekohidraulik bantaran sungai. Tebing-tebing itu cukup diperkuat dengan aneka tanaman sehingga secara berkelanjutan akan meningkatkan kualitas ekologi dan konservasi air.

Untuk penanganan banjir di Jakarta, retarding basin dapat dibuat di bagian tengah dan hulu dari 13 sungai yang mengalir ke jantung kota Jakarta, seperti Sungai Ciliwung, Cisadane, Mookervart, Pesanggrahan, Grogol, Krukut, Kali Baru Barat, Cipinang, Sunter, dan Cakung. Pembuatan retarding basin ramah lingkungan dapat diawali dengan inventarisasi lokasi sepanjang alur sungai dengan prioritas dari bagian tengah hingga hulu. Inventarisasi ini dimaksudkan untuk menemukan lokasi-lokasi kanan-kiri sungai yang bisa dijadikan lokasi retarding basin. Setelah lokasi-lokasi yang cocok ditemukan, dapat dilakukan pembebasan tanah dan dimulai pembuatan retarding basin secara bertahap. Pembebasan tanah di pinggir sungai di daerah tengah dan hulu, yaitu di daerah Bekasi ke arah hulu, kiranya tidak memakan biaya mahal seperti pembebasan tanah di Jakarta Pusat.

Pembuatan retarding basin ini jauh lebih murah jika dibandingkan dengan pembuatan banjir kanal-banjir kanal. Karena selain lokasinya di luar daerah pusat perekonomian, konstruksinya juga ramah lingkungan dan tidak diperlukan konstruksi-konstruksi tambahan lain, seperti jembatan pelintasan, tanggul, dan perlindungan tebing.

Agus Maryono
Peneliti Sungai, Banjir, dan Ekohidraulik; Dosen Fakultas Teknik, MST FT UGM
Sumber: KOMPAS, Kamis, 08 Februari 2007, Rubrik Opini

No comments :