Pratinjau

12 Dec 2012

sumur injeksi(informatif)

Sumur injeksi untuk “menabung” air sebagai upaya konservasi cekungan air bawah tanah di Jakarta ternyata tidak dimanfaatkan. Alasannya sederhana. Air untuk diinjeksikan kurang layak. Akan tetapi, anehnya, tanpa pernah ada upaya memulihkan kelayakan airnya kembali supaya tujuan “menabung” air itu terlaksana.

Delapan tahun lampau, 1997/1998, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuat empat sumur injeksi. Masing-masing di kawasan Setu Babakan, Waduk Sunter, Pulo Mas, dan pinggir banjir kanal barat Ciliwung di Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat. Semuanya sekarang mangkrak.

“Tulisan ’Sumur Injeksi’ ini apa maksudnya?” kata Murtanto, salah seorang warga ketika melintas di pedestrian pinggir proyek banjir kanal barat Ciliwung di kawasan Jalan Latuharhari, Senin (4/12). Di lokasi itu terdapat salah satu sumur injeksi yang sebelumnya memanfaatkan suplai air untuk diinjeksikan dari banjir kanal Ciliwung.

Murtanto saat itu pun ikut sibuk menelaah keberadaan pipa berdiameter sekitar 20 sentimeter itu. Pipa sumur dipandangnya mengganggu sebagian jalan setapak yang memang baru saja diselesaikan di pinggir banjir kanal tersebut.

Dari permukaan tanah, tinggi pipa sekitar 80 sentimeter. Lokasinya berjarak lima meter dari bibir proyek banjir kanal. Separuh bagian, dimulai dari pangkal pipa, terbungkus drum yang di dalamnya ada perkerasan semen.

Pada lapisan atas perkerasan semen itu terpampang prasasti batu marmer bertuliskan, “Sumur Injeksi”. Tulisan inilah yang dipertanyakan Murtanto. Selain itu, terpampang pula tulisan, “Dinas Pertambangan DKI Jakarta” dan “Tahun Anggaran 1997-1998″.

Berjarak sekitar 10 meter dari sumur injeksi yang diapit jalur rel kereta api antara Stasiun Dukuh Atas-Manggarai dengan proyek banjir kanal barat Ciliwung itu terdapat sumur pantau. Prasasti marmer yang menunjukkan kepastian akan adanya sumur pantau tersebut.

Sumur injeksi dan sumur pantau memang berkaitan. Sumur pantau untuk mengukur atau memantau muka air tanah, sedangkan sumur injeksi untuk memasukkan air ke dalam tanah ketika muka air tanah terpantau kritis. Sumur pantau itu pun tampak sudah tidak pernah lagi digunakan.

Masyarakat umumnya lebih mengenal istilah sumur resapan. Pada prinsipnya, antara sumur injeksi dengan sumur resapan bertujuan sama, yaitu mengembalikan air ke dalam tanah. Namun, kapasitas air yang dimasukkan melalui sumur injeksi akan jauh lebih besar daripada sumur resapan, karena ditekan dengan mesin pemompa.

Air bawah tanah

Keberadaan sumur pantau dan sumur injeksi di pinggir banjir kanal pantas saja menjadi pertanyaan Murtanto maupun warga lainnya yang sering melintasinya. Baru setelah mendapatkan sedikit gambaran bahwa fungsi kedua sumur untuk konservasi lingkungan, terutama untuk konservasi air bawah tanah tersebut, Murtanto sedikit berkomentar, “Kalau pemerintah saja malas berbuat untuk konservasi air, bagaimana dengan warganya?”

Memasukkan air bersih sebanyak-banyaknya ke dalam tanah melalui sumur injeksi merupakan bagian penting upaya konservasi cekungan air bawah tanah. Selama ini, konservasi tersebut masih diabaikan.

“Konservasi cekungan air bawah tanah harus terpadu dengan konservasi daerah aliran sungai. Manajemen yang ada di Indonesia baru sekadar konservasi beberapa daerah aliran sungai. Ada istilah one river, one management (satu sungai, satu manajemen), tetapi belum pernah terwujud one basin, one management (satu cekungan air bawah tanah, satu manajemen),” kata Danaryanto, Kepala Subdirektorat Pengelolaan Konservasi Panas Bumi dan Air Tanah pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

Sumur injeksi, kata dia, merupakan metode paling optimal untuk mengembalikan kadar air bawah tanah. Namun, percuma saja kalau air yang diinjeksikan tidak bersih atau tercemar.

Pipa pada sumur injeksi di lapisan pasir, lanjut dia, biasanya diberi saringan untuk penyerapan air ke dalam tanah. Ketika airnya kotor, saringan akan cepat tersumbat. Kalau air tercemar, akan sangat merugikan kondisi cekungan air bawah tanah.

“Persoalan yang timbul sekarang, air bersih yang akan diinjeksikan itu tidak pernah tersedia. Sebab, air bersih untuk kebutuhan warga sehari-hari saja masih mengalami kekurangan,” kata Danaryanto.

Ia menyebutkan pernah membuat sumur injeksi di Kapuk, Jakarta Utara. Akan tetapi, lama-kelamaan tidak pernah tersedia air bersih untuk diinjeksikan karena warga Kapuk sendiri kekurangan air bersih.

Kondisi kritis cekungan air bawah tanah, menurut Danaryanto, saat ini tidak hanya dihadapi di Jakarta. Di berbagai wilayah di Indonesia banyak ditemui kondisi kritis tersebut.

“Untuk menguji ketersediaan air bawah tanah yang masih bagus, jika dibor pada kedalaman tertentu akan menjadi sumur artesis. Air akan mengalir ke permukaan tanah dengan sendirinya melalui pipa yang diborkan,” jelasnya.

Jangankan sumur artesis, sumur-sumur bor yang disedot dengan mesin pompa saja sekarang susah didapat. Kalaupun air dapat diperoleh, kandungannya pun sudah sangat polutan, terutama di wilayah Jakarta Selatan bagian utara hingga wilayah Jakarta Utara. Satu-satunya harapan bertumpu pada persediaan air bersih yang didistribusikan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).

Menurut Kepala Subdinas Bina Usaha Air Bawah Tanah dan Bahan Galian pada Dinas Pertambangan DKI Jakarta, Dian Wiwekowati, saat ini belum ada upaya untuk memfungsikan kembali sumur-sumur injeksi yang ada di Jakarta. “Upaya mengendalikan pemanfaatan air bawah tanah masih sebatas pada pembatasan kapasitas air bawah tanah yang diambil melalui pengeboran-pengeboran,” katanya.

Izin pengambilan air sumur dalam, lanjut Dian, dibatasi kapasitas 100 meter kubik per hari. Saat ini diberikan 2.100 perizinan pemanfaatan air bawah tanah dengan sumur dalam. Adapun untuk sumur dangkal diberikan 1.500 perizinan dengan kapasitas pengambilan lima meter kubik per hari. Sesuai Deklarasi Kota Hijau yang turut ditandatangani Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di San Fransisco, Amerika Serikat, pada tahun 2005, diharapkan pada tahun 2012 sudah dapat dihentikan pemanfaatan air tanah tersebut.

Pemanfaatan air bawah tanah itu kemudian seharusnya digantikan dengan pemanfaatan air permukaan. Di Jakarta air permukaan yang diambil untuk PDAM berasal dari Waduk Jatiluhur dengan sumber aliran dari Sungai Citarum. Kapasitas air baku itu pun sering dikeluhkan operator PDAM DKI, PT Thames Pam Jaya (TPJ) dan PT Pam Lyonaisse Jaya (Palyja), karena debitnya kurang atau kualitas airnya buruk.

Untuk menghambat atau melarang pemanfaatan air bawah tanah, kemudian beralih pada pemanfaatan air permukaan, memang tidak akan mudah.

“Pemanfaatan air bawah tanah selama ini menunjukkan sebagai bentuk ketidakmampuan dalam mendistribusikan hasil pengolahan air permukaan kepada masyarakatnya,” kata Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Jawa Tengah Edi Haryono, saat menjadi pembicara lokakarya “Konsolidasi Penyelenggaraan Pengelolaan Air Tanah” yang diselenggarakan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Sudah jelas, pemanfaatan air bawah tanah kurang bagus untuk konservasi lingkungan. Namun, di berbagai wilayah di Indonesia hal itu tak terhindarkan.

Saat ini, mengisi kembali kandungan air bawah tanah melalui sumur injeksi memang bukanlah satu-satunya langkah paling efektif untuk menyelamatkan kondisi air bawah tanah. Akan tetapi, selagi pemanfaatan air bawah tanah masih saja terus berlangsung dan sulit dihambat, lebih baik sumur injeksi kembali dimanfaatkan.

Sumber: Kompas, Sabtu, 09 Desember 2006 ; http://64.203.71.11/kompas-cetak/0612/09/humaniora/3153948.htm

Strip Penyangga Riparian(informatif)


Tumbuhan berupa pohonan, rumputan dan semak-semak atau campuran berbagai bentuk dan jenis vegetasi yang ditanam sepanjang tepi kiri dan kanan sungai disebut riparian buffers strips atau filter strips yang dalam Bahasa Indonesianya adalah strip penyangga riparian atau penyangga riparian atau strip filter. Secara umum digunakan jalur hijau sungai.

Penyangga riparian berfungsi untuk menjaga kelestarian fungsi sungai dengan cara menahan atau menangkap tanah (lumpur) yang tererosi serta unsur-unsur hara dan bahan kimia termasuk pestisida yang terbawa., dari lahan di bagian kiri dan kanan sungai agar tidak sampai masuk ke sungai.

Penyangga riparian juga menstabilkan tebing sungai. Pohonan yang ditanam di sepanjang sungai juga lebih mendinginkan air sungai yang menciptakan lingkungan yang baik bagi pertumbuhan berbagai jenis binatang air.

Di berbagai negara bagian Amerika Serikat lebar strip riparian untuk Sungai Kelas I (sungai yang digunakan untuk air minum dan banyak ikan) lebar penyangga riparian adalah sekitar 75 kaki (24,6 m dibulatkan 25 meter) dengan kisaran antara 66 – 100 kaki, sedangkan untuk Sungai Kelas II (tidak untuk air minum dan tidak cukup banyak ikan) lebarnya adalah 5 kaki (1,6 m). Secara ideal, untuk sungai kelas I, strip riparian terdiri atas 4 sampai 5 baris pohonan ditanam berdekatan dan sejajar dengan sungai, kemudian satu atau dua baris semak-semak, dan selebar 20 – 24 kaki (6,5 – 8 m) rumput asli.

Di Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum menetapkan adanya garis sempadan sungai yang tujuannya adalah: (1) agar fungsi sungai termasuk danau dan waduk tidak terganggu oleh aktivitas yang berkembang di sekitarnya, (2) agar kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat sumber daya yang ada di sungai dapat memberikan hasil secara optimal sekaligus menjaga fungsi sungai, dan (3) agar daya rusak air terhadap sungai dan lingkungannya dapat dibatasi (Kepmen Pekerjaan Umum Nomor 63/PRT/1993, Pasal 3). Pada prinsipnya tujuan garis sempadan sungai sama dengan tujuan riparian. Adalah sangat sejalan jika garis sempadan sungai tersebut ditanami berbagai jenis vegetasi sehingga benar-benar menjadi jalur hijau.

Di dalam Kepmen Pekerjaan Umum Nomor: 63/PRT/1993 tersebut lebar garis sempadan sungai untuk tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 100 m bagi sungai besar (luas DAS >= 500 km2, sedangkan bagi sungai kecil (luas DAS < 500 km2 sekurang-kurangnya 50 m dari tepi sungai (Pasal 7). Untuk sungai-sungai di kawasan perkotaan, lebar garis sempadan sungai ditetapkan sekurang-kurangnya 10 m bagi sungai yang kedalamannya tidak lebih dri 3 m, dan 15 meter bagi sungai yang kedalamnnya lebih dari 3 m (Pasal 8), sedangkan bagi sungai yang kedalaman maksimumnya lebih dari 20 m, maka lebar garis sempadan sungai sekurang-kuranya 30 meter dari tepi sungai.

Sumber: Sitanala Arsyad (2006). “Konservasi Tanah dan Air”. Bogor: IPB Press. Halaman 153 – 154

sabuk resapan(informatif)



https://bebasbanjir2025.wordpress.com
Sabuk resapan adalah memanfaatkan tanah miring yang sudah diatur (terasering). Pada bagian tepi teras bagian bawah dibuat galian selebar 2–3 m dalam 0,6 – 1,0 m melingkar mengikuti kontur tanah. Dengan demikian saat hujan limpasan hujan dapat tertampung pada sabuk sepanjang kontur tanah tersebut dan mempunyai waktu untuk meresap kedalam tanah sebanyak-banyaknya. Sabuk resapan ini secara tidak langsung saya temukan di Madura saat mendampingi fieldtrip Mahasiswa Spesialis 1 PSDA 10 tahun yang lalu.

Sumber: Dr. Ir. Sri Legowo Wignyo Darsono, www.ftsl.itb.ac.id/kk/teknik_sumber_daya_air/wp-content/uploads/2007/09/ banjir-dan-kekeringan.pdf

Rorak/parit buntu(Informatif)


Rorak adalah lubang-lubang buntu dengan ukuran tertentu yang dibuat pada bidang olah dan sejajar dengan garis kontur. Fungsi rorak adalah untuk menjebak dan meresapkan air ke dalam tanah serta menampung sedimen-sedimen dari bidang olah.

Pembuatan rorak dapat dikombinasikan dengan mulsa vertikal untuk memperoleh kompos.

Rorak dan Pengendalian Banjir

Rorak adalah bangunan konservasi tanah dan air yang relatif mudah diuat. Adanya rorak akan menjebak aliran permukaan dan memberikan kesempatan kepada air hujan untuk terinfiltrasi ke dalam tanah. Dengan demikian rorak akan menurunkan aliran permukaan yang keluar dari persil lahan secara signifikan. Hal ini tentu saja akan ikut berkontribusi terhadap pengendalian banjir.

Ukuran dan Jarak Rorak

Ukuran dan jarak rorak yang direkomendasikan cukup beragam. Arsyad (2006) merekomendasikan dimensi rorak: dalam 60 cm, lebar 50 cm dengan panjang berkisar antara satu meter sampai 5 meter. Jarak ke samping disarankan agar sama dengan panjang rorak dan diatur penempatannya di lapangan dilakukan secara berselang-seling seperti pada gambar agar terdapat penutupan areal yang merata. Jarak searah lereng berkisar dari 10 sampai 15 meter pada lahan yang landai (3% – 8%) dan agak miring (8% – 15%), 5 sampai 3 meter untuk lereng yang miring (15% – 30%).

Direktorat Pengelolaan Lahan, Departemen Pertanian (2006), menerbitkan standar teknis pembangunan rorak/saluran buntu dalam upaya konservasi tanah dan air, yaitu:
Lahan berupa lahan kering/upland dan terletak dalam satu hamparan minimal seluas 8 hektar. Dalam satu hektar dibangun konstruksi rorak sebanyak 30 unit.
Panjang rorak/saluran buntu 5 meter, lebar 0,30 meter dan kedalaman 0,4 meter.
Kemiringan lahan 3 % s/d 30%. Untuk menjamin keberhasilan sebaiknya dipilih lahan yang tidak terlalu curam sehingga tidak diperlukan adanya pembangunan teras bangku yang relatif mahal.
Ketinggian tempat lebih rendah dari 1.500 meter di atas permukaan laut dimana berbagai jenis tanaman masih memungkinkan untuk diusahakan.
Lahan peka terhadap erosi.
Lahan masih diusahakan oleh petani, tetapi produktivitasnya telah mengalami degradasi/menurun.

Sumber: www.bpdas-inrok.net/peraturan/PEDOMAN%20TEKNIS%20RORAK.pdf





revitalisasi danau, telaga, atau situ (informatif)


telaga 
Revitalisasi danau, telaga, atau situ kaitannya dengan memanen air hujan sebaiknya dilakukan dengan konsep ekologi-hidraulik atau ekologi-hidrologi. Konsep ini diartikan sebagai upaya memperbaiki dan menyehatkan seluruh komponen ekologi (flora-fauna) dan hidraulik-hidrologi (sistem keairan) penyusun danau, telaga, atau situ yang bersangkutan, sehingga dapat berfungsi menampung air yang dapat digunakan untuk keperluan air bersih masyarakat, meresapkan air hujan untuk pengisian air tanah, dan dapat berkembang menjadi wilayah ekosistem wilayah danau, situ dan telaga yang hidup dan lestari

.Dasar filosofi pengelolaan danau atau telaga termasuk juga situ secara ekologi-hidraulik adalah berorientasi pada danau alami yang ada. Artinya bahwa dalam pengelolaannya berangkat dari danau alami, bukan berangkat dari filosofi reservoir atau kolam tandon bangunan sipil-hidro. Segala kondisi yang ditemui pada danau, telaga ataui situ alami coba diadopsi dan diterapkan pada telaga, danau atau situ yang direvitalisasi. Intinya adalah mengembalikan kondisi alamiah danau, telaga atau situ yang bersangkutan.

Danau atau telaga alami memenuhi kondisi ekologi hidraulik yaitu daerah tangkapan airnya bagus, komposisi dan heterogenitas tanamannya legkap, belum ada penggundulan hutan dan sistem tata air dan drainasenya masih alamiah; tumbuh vegetasi dan pohon-pohon besar yang melingkari danau atau telaga pada zona amphibi dan daratan (sempadan danau atau telaga) yang cukup rapat. Pohon dan vegetasi melingkar ini, secara umum dapat dibedakan menjadi tiga ring. Ring pertama pada umumnya ditumbuhi pohon-pohon besar yang biasa ada di daerah yang bersangkutan (misalnya pohon beringin di daerah Jawa). Ring kedua dipenuhi dengan pohon-pohon yang lebih kecil dan relatif kurang rapat dibanding dengan ring pertama. Ring ketiga atau ring luar berbatasan dengan daerah luar telaga, dengan tingkat kerapatan tanaman lebih jarang. Jika kondisi vegetasi di sekeliling danau atau telaga ini punah, maka dapat dipastikan bahwa umur telaga akan memendek, baik disebabkan oleh tingkat penguapan dan suhu yang tinggi maupun tingkat sedimentasi yang tinggi

Pada pengembangan danau, telaga , atau situ untuk pariwisata sering dilakukan dengan membuat sarana prasarana pariwisata tanpa memperhitungkan ekologi danau, telaga, atau situ tersebut. Dampaknya, sarana-prasarana tersebut justru mengambil areal vegetasi dan menjadi pemicu rusaknya ring-ring ekologi danau, telaga, atau situ tersebut. Oleh karena itu, selain perbaikan daerah tangkapan air yang masuk ke danau, telaga atau situ, juga upaya melestarikan dan menumbuhkan pohon-pohon dan vegetasi di sekelilingnya baik pada ring pertama, kedua dan ketiga. Pengembangan sarana pariwisata hendaknya diletakan di luar ring ketiga dan hendaknya mengacu pada konsep eko wisata.

Dalam konsep eko-hidraulik pembuatan talud melingkar harus sejauh mungkin dihindari, karena bangunan ini akan mematikan ekosistem secara destruktif, disamping talud tersebut tidak efektif untuk menahan rembesan air secara horisontal. Justru dengan penanaman vegetasi yang sesuai dengan kondisi setempat dapat menurunkan rembesan horisontal secara efektif, menahan longsoran, menurunkan suhu, menahan air dan meningkatkan kualitas ekosistem. Demikian juga dengan cara pengerukan dan pelapisan aspal akan berakibat sebaliknya yaitu menurunkan kualitas ekosistem dan bahkan menahan base flow.

Dalam revitalisasi danau, telaga, dan situ, dalam konteks memanen air hujan dapat dilakukan dengan menumbuhkan dan memelihara ekologi daerah sempadan (bantaran) danau, telaga atau situ. Danau, telaga dan situ yang lestari dapat dilihat dari kesuburan daerah sempadannya. Pada ring pertama banyak ditumbuhi tanaman-tanaman besar yang rapat, pada ring lingkaran kedua sempadan tersebut ditumbuhi tanaman-tanaman keras yang lebih kecil dari ring pertama, dan pada ring ketiga daerah sempadan danau tersebut banyak ditemukan tumbuhan-tumbuhan produksi yang relatif rapat.

Sumber: Agus Maryono dan Edy Nugroho Santoso (2006). Metode Memanen dan memanfaatkan Air Hujan untuk Penyediaan Air Bersih, Mencegah Banjir dan Kekeringan. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup

Sistem polder(Informatif)

polder
“Kawasan perkotaan seperti Jakarta, Semarng dan kota lain yang berada di kawasan rendah selalu dilanda banjir sehingga masyarakat setempat akan selalu mendapat masalah,” kata Penasehat Utama Kementerian Transportasi dan Pengairan Kerajaan Belanda, Prof Bart Schultz, di Jakarta, Selasa (3/7).

Sementara kondisi drainase yang kurang baik dan penumpukan sampah pada saluran air akibat warga kurang memiliki kesadaran lingkungan, menambah parah kondisi tersebut.

Apalagi saat ini dengan ada isu pemanasan global dan perubahan iklim berakibat terjadi naiknya air laut dan turunnya permukaan tanah akibat pengambilan air tanah, akan semakin menambah luasan kawasan genangan.

Selain itu, berdasarkan penelitian pakar dunia, terjadi naiknya permukaan air laut sekitar 19-58 cm/abad, perubahan kondisi sungai dan debit puncak sekitar 10-30 persen/abad serta meningkatnya curah hujan rata-rata hingga 45 persen/abad.

Untuk itu, katanya, pemerintah yang kawasannya berada di kawasan rendah seperti Indonesia harus mewaspadainya dengan cara mengoptimalkan segala sistem dan membangun infrastruktur dan sarana penting di kawasan yang relatif tinggi,

Sementara itu, Peneliti Madya Puslitbang SDA Departemen PU Joyce Marha Widjaya mengatakan, dalam mengembangkan sistem polder perkotaan harus dilakukan secara terintegrasi antara rencana tata ruang dan tata air utamanya pada kota-kota pantai yang memiliki cekungan.

Setiap tetes air buangan yang jatuh pada kawasan polder harus didrainase dengan bantuan pompa, dan untuk itu perlu disosialisasikan konsep pengendalian pengembangan sistem polder berkelanjutan sebagai langkah antisipasi terhadap perubahan akibat pembangunan yang sangat mempengaruhi dan berdampak pada lingkungan..

Sementara itu Forum Peduli Lingkungan Kelapa Gading, Firman, berharap dengan ada sistem polder tersebut dapat membantu kawasannya yang selalu tergenang akibat limpasnya air dari Danau sunter.

Dia berharap, sistem tersebut bisa dilaksanakan segera dan meminta pemda dan Dinas PU DKI memperhatikan pemasangan tanggul dan drainase, yang dinilai sudah tidak memadai dan airnya sering menggenangi perumahan sekitar meski hujannya sebentar.

Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Pluit Ir Agus Johan mengatakan,hingga saat ini penanganan masalah banjir dan lingkungan baru sebagian yang dijalankan dari yang disepakati.

Menurut dia, masih banyak masalah substansial polder Pluit yang perlu dicarikan solusinya oleh pemangku kepentingan, dengan terhindarnga kawasan Pluit dari genangan tahun 2007 yang lalu, bukan jaminan kawasan tersebut terhindar dari masalah banjir.

Sementara itu Kepala Bappeda Kota Semarang Ir M Farhan mengatakan, untuk mengatasi daerah genangan di kota Semarang pemerintah melakukan upaya pengendalian di daerah hulu dengan mengurangi daerah terbangun.

Dia mengarahkan memperbanyak fungsi konservasi guna mengurangi pendangkalan sungai dan menyebabkan terjadi perluasan genangan dan membangun waduk Jatibarang sebagai kolam retensi guna mengurangi air menuju hilir. (mf/toeb/c)

Sumber: http://depkominfo.go.id

pengolahan tanah minimum(Informatif)

infopublik.id
Pengolahan tanah minimum adalah teknik konservasi tanah dimana gangguan mekanis terhadap tanah diupayakan sesedikit mungkin. Dengan cara ini kerusakan struktur tanah dapat dihindari sehingga aliran permukaan dan erosi berkurang. Teknik ini juga mengurangi biaya dan tenaga kerja untuk pengolahan tanah dan mengurangi biaya / tenaga kerja untuk penyiangan secara mekanik. Pengolahan tanah minimum cukup efektif dalam mengendalikan erosi, dan biasa dilakukan pada tanah-tanah yang berpasir dan rentan terhadap erosi.

Pengolahan tanah minimum hanya dapat dilakukan pada tanah yang gembur. Tanah gembur dapat terbentuk sebagai hasil dari penggunaan mulsa secara terus menerus dan / atau pemberian pupuk hijau / pupuk kandang / kompos dari bahan organik yang lain secara terus menerus. Penerapan teknik pengolahan tanah minimum selalu perlu disertai pemberian mulsa.

Keuntungan:

  • Menghindari kerusakan struktur tanah
  • Mengurangi aliran permukaan dan erosi
  • Memperlambat proses mineralisasi, sehingga penggunaan zat-zat hara dalam bahan-bahan organik lebih berkelanjutan.
  • Tenaga kerja yang lebih sedikit daripada pengelolaan penuh, sehingga mengurangi biaya produksi.
  • Dapat diterapkan pada lahan-lahan marginal yang jika tidak dengan cara ini mungkin tidak dapat diolah.

Kelemahan: 



  • Persiapan bedengan yang kurang memadai dapat menyebabkan pertumbuhan yang kurang baik dan produksi yang rendah, terutama untuk tanaman seperti jagung dan ubi.
  • Perakaran mungkin terbatas dalam tanah yang berstruktur keras.
  • Lebih cocok untuk tanah yang gembur
  • Pemberian mulsa perlu dilakukan secara terus menerus
  • Herbisida diperlukan apabila pengendalian tanaman pengganggu tidak dilakukan secara manual / mekanis.

Sumber: Riri Fithriadi dkk / Peny. (1997). Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering di Indonesia; Kumpulan Informasi. Bogor: Pusat Penyuluhan Kehutanan.

Mulsa(cara mudah konservasi tanah)


http://duhakubingung.blogspot.com
Mulsa adalah sisa tanaman, lembaran plastik, atau susunan batu yang disebar di permukaan tanah. Mulsa berguna untuk melindungi permukaan tanah dari terpaan hujan, erosi, dan menjaga kelembaban, struktur, kesuburan tanah, serta menghambat pertumbuhan gulma (rumput liar).

Penggunaan mulsa atau serasah adalah teknik konservasi tanah yang tergolong dalam cara vegetatif. Pada teknik ini permukaan tanah di antara barisan tanaman atau di sekitar batang pohon ditutup dengan bahan-bahan berupa sisa tanaman setelah panen, pangkasan tanaman pagar atau larikan pada budidaya lorong.

Dari aspek pengendalian eropsi, peran langsung bahan mulsa adalah melindungi permukaan tanah dari pukulan butir-butir hujan, mempertahankan kelembaban tanah, mencegah tumbuhnya tanaman pengganggu, sedangkan perannya yang tidak langsung adalah memperbaiki struktur tanah. Penggunaan mulsa umumnya dilakukan di daerah-daerah yang sering mengalami kekeringan dan rentan terhadap pertumbuhan gulma. Pilihan bahan-bahan untuk mulsa tergantung pada bahan-bahan yang tersedia setempat.

Dalam sistem budidaya lorong, biomasa dari larikan tanaman sering digunakan sebagai mulsa. Di perkebunan seringkali tanaman penutup tanah digunakan sebagai mulsa hidup, terutama di sekitar poghon-pohon yang masih muda yang telah tumbuh dengan baik. Salah satu strategi lainnya adalah meninggalkan sisa-sisa tanaman di lahan setelah panen (misalnya daun pucuk nenas, daun dan batang jagung, jerami padi, dsb). Hal ini akan menjamin bahwa ada zat-zat hara yang diserap tanaman kembali ke tanah.
Keuntungan
Melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung butir-butir air hujan serta mengurangi aliran permukaan, erosi dan kehilangan tanah.
Menekan pertumbuhan tanaman pengganggu (gulma) sehingga mengurangi (biaya tenaga kerja untuk penyiangan.
Mulsa yang berupa sisa-sisa tanaman menjadi sumber bahan organik tanah
Meningkatkan aktivitas jasad renik (mikroorganisme tanah), sehingga memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah
Membantu menjaga suhu tanah serta mengurangi penguapan sehingga mempertahankan kelembaban tanah sehingga pemanfaatan kelembaban tanah menjadi lebih efisien.
Tergolong teknik konservasi tanah yang memerlukan jumlah tenaga kerja / biaya rendah.
Kelemahan
Bahan-bahan mulsa mungkin menjadi sarang berkembangbiaknya penyakit-penyakit tanaman. Namun hal ini masih perlu diteliti bagi setiap bahan mulsa yang digunakan.
Tidak dapat digunakan dalam keadaan iklim yang terlampau basah.
Mulsa sukar ditebarkan secara merata pada lahan-lahan yang sangat miring.
Bahan-bahan untuk mulsa tidak selalu tersedia.
Beberapa jenis rumput jika digunakan sebagai mulsa dapat tumbuh dan berakar sehingga dapat menjadi tanaman pengganggu.

Sumber: Riri Fithriadi dkk (Peny) (1997). Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering di Indonesia; Kumpulan Informasi. Hal 80 -81. Jakarta: Pusat Penyuluhan Kehutanan.

Modifikasi Lansekap(informatif)


Modifikasi lansekap untuk memanen air hujan sedang banyak dikerjakan di beberapa negara maju, seperti di Kanada, Jerman dan Jepang. Salah satu caranya adalah mengganti jaringan drainase suatu kawasan dengan cekungan-cekungan di berbagai temoat (modifikasi lansekap), sehingga air hujan akan tertampung di lokasi cekungan tersebut. cara modifikasi lansekap ini ternyata dapat menekan biaya konstruksi jaringan drainase suatu kawasan lebih dari 50 persen.

Di Indonesia, metode ini secara tradisional sebenarnya sudah berkembang. Masyarakat “memodifikasi lansekap” mereka dengan membuat parit-parit kecil dan cekungan-cekungan dangkal di pekarangan mereka untuk keperluan perikanan atau pengawetan kayu / bambu, sekaligus sebagai ornamen kebun pekarangan. Modifikasi lansekap dapat dilaksanakan pada berbagai lokasi sebagai berikut:

Kawasan perumahan atau perkantoran

Cekungan-cekungan dibuat di antara bangunan untuk mengalirkan dan meresapkan air hujan. Cekungan tersebut tidak didisain sebagai kolam tampungan, namun sebagai kolam peresapan. Dengan demikian diusahakan secepat mungkin air meresap ke dalam tanah. Konsep ini jika diterapkan dapat mengurangi biaya pembuatan jaringan drainase sekaligus dapat mendukung kelestarian air tanah. Dimensi cekungan disesuaikan dengan karakteristik porositas tanah dan intensitas hujan serta luas areal yang tersedia.

Sumber:
Agus Maryono dan Edy Nugroho Santoso (2006). Metode Memanen dan Memanfaatkan Air Hujan untuk Penyediaan Air Bersih, Mencegah Banjir dan Kekeringan. Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

kolam konservasi air hujan(Informatif)


kolam tampungan
Metode kolam tampungan drainase dalam skala besar sangat mudah untuk disosialisasikan melalui pola pemenuhan kebutuhan bahan urugan atau bahan galian C (Gambar 1). Pemerintah dan masyarakat dapat mencari lokasi bekas tambang galian C, kemudian dikeruk. Hasil galiannya dipakai sebagai bahan urug, bekas galiannya dipakai sebagai kolam resapan air hujan sekaligus dapat dikembangkan untuk rekreasi.

Cara ini banyak dipraktekan di negara-negara maju sehingga dalam jangka waktu tertentu mereka mempunyai banyak sekali danau buatan dari tambang galian C. Disamping itu konstruksi kolam dapat dibangun di areal permukiman.

Selain di areal permukiman , dikenal juga kolam konservasi air hujan di areal pertanian Kelebihan air hujan yang jatuh di areal pertanian, termasuk limpasan dari jalan dan perkampungan di sekitar areal pertanian dapat ditampung pada kolam-kolam penampungan, tidak langsung dibuang ke sungai. Pemerintah atau mayarakat dapat memanfaatkan tanah kas desa atau membeli beberapa hektar tanah untuk dijadikan kolam konservasi air hujan.

Dimensi areal konservasi disesuaikan dengan luas daerah tangkapan air hujan yang akan dimasukan ke kolam tersebut dan karakteristik air hujan., Perencanaan dimensi kolam dapat dilakukan dengan hitungan rumus-rumus drainase hujan aliran biasa.

Limpasan air hujan suatu kawasan permukiman ditampung di kolam untuk diolah kembali menjadi air minum, bahkan untuk kebutuhan air irigasi. Cara ni sudah banyak dipraktekan di kompleks-kompleks perumahan perusahan pertambangan di Sumatera dan Kalimantan.

Pada kompleks perumahan atau kompleks perusahaan dapat didisain drainase air hujan terpadu dengan kolam tampungan (kolam tandon) untuk pemenuhan kebutuhan air bersih. Air hujan dari seluruh kawasan kompleks dialirkan menuju kolam tandon air hujan.

Dengan instalasi water treatment, air dalam kolam itu dimanfaatkan sebagai sumber air bersih kawasan kompleks tersebut. Dimensi kolam tandon air hujan disesuaikan dengan kondisi lapangan dan dihitung berdasarkan intensitas dan volume hujan yang direncanakan akan ditangkap. Metode hitungan hujan aliran dalam drainase dapat dipakai untuk menentukan volume kolam tampungan.

Disamping itu perlu diperhitungkan kebutuhan air seluruh penghuni kompleks per hari agar kolam yang akan dibuat dapat memenuhi kebutuhan air penghuni kompleks.

Sumber:bebas banir2025

KONSEP DEEP TUNNEL RESERVOIR SYSTEM (DTRS) (informatif)


konsep deep tunnel perkotaan
Konsep DTRS, yang dipresentasikan oleh Ketua BR – Achmad Lanti & Anggota Bidang Teknik BR – Firdaus Ali ini menggambarkan permasalahan utama, berupa inovasi teknologi dan usulan aplikasinya untuk contoh kasus di DKI Jakarta. Teknologi ini diadopsi dari proyek serupa di beberapa kota metropolitan di dunia, daintaranya Singapura, Kuala Lumpur, Hongkong, Chicago dan Milwaukee di Amerika Serikat. DTRS menganut konsep “5 in 1”, yaitu manfaatnya untuk mengendalikan banjir dan genangan air, menampung air limbah pada terowongan di bawah tanah, yang kemudian dimanfaatkan menjadi air baku untuk pasokan ke Instalasi Pengolahan Air bersih (IPA) PDAM; untuk mengendalikan pemompaan air tanah secara berlebihan dan terakhir pekerjaan ini tidak membutuhkan pembebasan tanah/lahan. Sebagai tahap awal rencananya DTRS ini akan dibangun di Jakarta bagian tengah, yaitu letaknya berada di bawah Banjir Kanal Barat (BKT) sepanjang 17 km dengan luas penampang basah 42 x 42 m2, yang dapat menampung air sekitar 30 juta m3, dengan estimasi total biaya yang dibutuhkan + Rp. 4,4 triliun.

Estimasi biaya tersebut dihitung dari perbandingan proyek serupa di Singapura yang menghabiskan dana Rp. 18 triliun untuk panjang 70 km. DTRS juga dapat menahan banjir yang terjadi Februari 2007 dengan debit puncak 450 m3/dt dalam 18,5 jam. Dalam implementasinya DTRS harus disinkronisasi dengan konsep pengendali banjir yang lainnya seperti Banjir Kanal Timur (BKT), Banjir Kanal Cengkareng, dan juga melengkapi rencana pembangunan waduk Ciawi di hulu kali Ciliwung. Wagub Fauzi Bowo, mendukung penuh ide tersebut, sebagai solusi masa depan. Ia menyatakan, presentasi yang akan dibawakan pada acara “Dengar Pendapat” dengan DPR-RI Senin yang akan datang untuk dapat mengundang simpati dan dukungan dari gabungan para anggota DPR-RI dan beberapa Menteri yang hadir nanti, serta mengharapkan persetujuaan mereka untuk memulai Study Kelayakannnya. Ia juga peduli kepada sangat efisiennya biaya yang dibutuhkan untuk pemeliharaan / penglolaan DTRS tersebut

Hal ini dapat diyakini bahwa DTRS dapat beroperasi dengan basis pembiayaan sendiri/mandiri, misalnya mendapatkan pemasukan dari penjualan biogas (methane) dan biosolid (pupuk) yang dihasilkan dari limbah, penerimaan dari penjualan air baku, jasa pelayanan air limbah dan kemungkinan utility charge Permprov DKI berjanji akan membiayai proyek tersebut apabila pembangunan waduk Ciawi – Bogor juga disetujui untuk dibiayai oleh pemerintah pusat. Entry Filed under: Misc

Sumber: http://jakartawater.org/?p=176

Dam Pengendali(check dam)


sumber foto: BTP DAS Surakarta
Pembuatan Rancangan Dam Pengendali (DPi)
Pemilihan calon lokasi

Pemilihan calon lokasi dilakukan dengan cara inventarisasi terhadap beberapa calon lokasi dam pengendali yang telah ditetapkan dalam Rencana Teknik Tahunan (RTT) yang telah disusun, dengan kriteria sebagai berikut :

a) Lahan kritis dan potensial kritis
b) Sedimentasi dan erosi sangat tinggi
c) Struktur tanah stabil (badan bendung)
d) Luas DTA 100 -250 ha
e) Tinggi badan bendung 8 meter
f) Kemiringan rata-rata daerah tangkapan 15-35 %
g) Prioritas Pengamanan bangunan vital
Orientasi lapangan
Calon lokasi yang terpilih (memenuhi kriteria) kemudian dilakukan orientasi lapangan untuk menentukan letak dan ukuran badan bendung, saluran pelimpah dan daerah tangkapan air (DTA) serta daerah genangan air.
Konsultasi
Berdasarkan hasil orientasi lapangan dilakukan konsultasi dengan instansi terkait baik secara formal (Dinas Kimpraswil/PU, Dinas Pertanian dsb.) maupun non formal (kelompok tani, lembaga adat dsb)
untuk memperoleh masukan sebelum lokasi dan tipe dam pengendali ditetapkan.
Pengadaan bahan dan alat
Pengadaan bahan dan alat diprioritaskan terhadap bahan habis pakai, sedangkan peta dasar dan peralatan lain seperti alat ukur/survey lapangan dapat memanfaatkan yang sudah ada.
Administrasi
Persiapan administrasi meliputi :
a) Administrasi kegiatan
b) Surat menyurat (pemberitahuan, surat ijin, kesepakatan masyarakat dsb.)

DAM/parit

Dam parit (channel reservoir) adalah teknologi sederhana yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Teknologi ini merupakan suatu cara untuk mengumpulkan / membendung aliran air pada suatu parit (drainage network) dengan tujuan untuk menampung volume aliran permukaan, sehingga selain dapat digunakan untuk mengairi lahan di sekitarnya juga dapat menurunkan kecepatan run off, erosi dan sedimentasi (Puslitbang Tanah dan Agroklimat, 2002).

Dengan teknologi ini yang menurut pengalaman membutuhkan biaya sekitar Rp. 30 – 50 juta per unit, dan dalam proses pengerjaannya membutuhkan tenaga kerja sekitar 30 orang selama pengerjaan 3 bulan, dapat dilaksanakan sendiri oleh petani.

Pertimbangan pemilihan teknologi dam parit ini didasarkan atas keunggulannya dibandingkan dengan teknologi sejenis seperti embung. Keunggulan dam parit antara lain:
  • Dapat menampung air dalam volume besar, karena mencegat dari saluran / parit.
  • Tidak menggunakan areal produktif.
  • Dapat mengairi lahan cukup luas, karena dibangun berseri (cascade series) di seluruh DAS.
  • Dapat menurunkan kecepatan aliran permukaan, sehingga dapat mengurangi erosi permukaan (tanah lapisan atas yang subur), dan sedimentasi.
  • Terdapat kesempatan (waktu dan volume) meresap / menyimpan air ke dalam tubuh tanah (recharging) di seluruh DAS, sehingga mengurangi risiko kekeringan pada musim kemarau.
  • Biaya pembuatan relatif lebih murah.

Fungsi Dam Parit

Pada prinsipnya teknologi ini bertujuan dan berfungsi untuk:
Menurunkan debit puncak, yaitu debit yang paling tinggi yang terjadi pada aliran tersebut. Biasanya pada musim penghujan debit air pada suatu parit / saluran sangat tinggi sehingga dapat menimbulkan banjir dan tanah longsor serta erosi dengan membawa serta lapisan tanah atas yang subur. Dengan dibangunnya dam parit yang memotong aliran, itu akan mengurangi kecepatan aliran parit.

Memperpanjang waktu respon, yaitu memperpanjang selang waktu antara saat curah hujan maksimum dengan debit maksimumnya. Dengan lamanya air tertahan dalam DAS, maka sebagian air akan meresap kedalam tanah untuk mebiuisi (recharge)cadangan air tanah dan sebagian air dapat dialirkan ke l;ahan yang membutuhkan air / lahan yang tidak pernah mendapat air irigasi melalui parit-parit. Pada parit-parit itu pun selanjutnya juga dibuat dam / bendung lagi. Demikian seterusnya, sehingga luas lahan yang dapat dialiri dapat dimaksimalkan.

daerah konservasi air tanah


Pemerintah dan masyrakat dapat mengusahakan suatu kawasan atau wilayah tertentu yang khusus diperuntukan sebagai daerah pemanenan air hujan (peresapan air hujan) yang dijaga diversifikasi vegetasinya dan konstruksi apa pun tidak boleh dibangun di atas areal tersebut.

Untuk keperluan ini harus dipilih daerah yang mempunyai peresapan tinggi dan bebas dari kontaminasi polutan. Konsep ini belum banyak dikenal di Indonesia, maka setiap daerah perlu segera mencari lokasi atau kawasan yang dapat dikembangkan menjadi cagar alam resapan air hujan ini.

budidaya lorong/alley crooping(informatif)


Sistem pertanaman lorong (alley croping) adalah suatu sistem di mana tanaman pangan ditanam pada lorong (alley) di antara barisan tanaman pagar

Pangkasan dari tanaman pagar digunakan sebagai mulsa yang diharapkan dapat menyumbangkan hara terutama nitrogen kepada tanaman lorong.

Tanaman yang digunakan untuk tanaman pagar antara lain adalah lamtoro (Leucaena leucocephala), gliricidia (Gliricidia sepium), kaliandra (Caliandra calothyrsus) atau flemingia (Flemingia congesta).

Lamtoro lebih sesuai pada tanah yang tidak masam (pH 5,5-7,5) dan kurang baik tumbuhnya apabila tanah masam (pH 4-5,5). Gliricidia mempunyai daya toleransi yang lebih tinggi terhadap kemasaman tanah, tahan pangkasan dan cepat kembali bertunas sesudah pemangkasan. Kaliandra mempunyai daya adaptasi yang cukup luas tetapi kalah populer dibandingkan dengan gliricidia.

Tindakan penyempurnaan budidaya lorong yang direncanakan lebih bersifat memaksimalkan fungsi saluran dan guludan untuk mempermudah pengomposan sisa tanaman, meningkatkan peresapan air, mengurangi persaingan air dan unsur hara, serta mempermudah pemeliharaan saluran dan guludan. Beberapa tambahan keuntungan tersebut diharapkan dapat mempermudah dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan sisa tanaman serta upaya konservasi air dan unsur hara untuk mencegah erosi, banjir dan pencemaran perairan.

Untuk mengevaluasi manfaat penyempurnaan teknik budidaya lorong tersebut diperlukan penelitian jangka panjang dalam petak permanen untuk mempelajari dan memantau dampak teknik budidaya lorong yang disempurnakan terhadap besarnya aliran permukaan dan erosi, pertumbuhan dan produksi tanaman, serta peubah sifat-sifat fisik, kimia dan biologi; dibandingkan dengan teknik budidaya lorong konvensional. Untuk menjamin terpeliharanya petak permanen tersebut maka penelitian ini direncanakan akan dilakukan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian IPB di Cikabayan yang telah dilengkapi dengan stasiun pengamatan iklim yang memadai. Dari lokasi yang strategis di dekat Kampus Institut Pertanian Bogor dan tidak jauh dari Ibu Kota Negara, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat tambahan yang sangat penting yaitu menyediakan sarana peragaan bagi pendidikan, pelatihan dan obyek kunjungan bagi kontak tani dan transmigran teladan.