Pratinjau

12 Dec 2012

Jakarta bebas banjir itu mitos untuk saat ini!!


JAKARTA bebas banjir sepertinya sulit terwujud. Selain butuh waktu lama, upaya menuju hal itu juga terkendala keterbatasan dana.

“Jakarta bebas banjir itu mitos. Berkurang bisa. Kalau total mustahil,” kata Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Wisnu Subagyo di Jakarta, Sabtu (27/9).

Wisnu mengungkapkan, untuk bisa bebas banjir, Jakarta masih membutuhkan 13 tempat penampungan air atau polder untuk melengkapi 42 polder yang direncanakan. Namun, pembangunan polder tidak murah. Untuk membangun polder di Sunter Timur I dan Sunter Timur II seluas total 2.350 hektar saja, kata dia, masing-masing membutuhkan dana seebesar Rp 3 triliun.

Sementara itu, untuk melakukan pengerukan 13 sungai di seluruh Jakarta, Pemprov DKI terpaksa meminjam dana dari Bank Dunia sebesar Rp 1,2 triliun. Pembangunan 13 polder, jika rata-rata membutuhkan dana Rp 3 triliun per polder, akan membutuhkan dana sebesar Rp 39 triliun dan luas lahan 6.942,11 hektar. “Itu sangat mustahil diwujudkan dalam waktu instan. Jadi, seluruh pengendali banjir itu dilakukan secara bertahap,” tutur Wisnu.

Dalam perencanaan, beberapa tempat yang akan diubah menjadi polder adalah Kapuk Polgar, Jelambar Timur, Sunter Timur Utara, Sunter Timur II, Kelapa Gading, Marunda, Cengkareng Barat, Tanjungan/ Tegal Alur, Kapuk Muara, Industri/Gunung Sahari, Rawa Buaya, Kedoya Green Garden, dan Kedoya Taman Ratu Greenville.

Hasil rapat para pejabat DKI dan daerah-daerah penyangga terkait banjir tahunan di Jakarta beberapa waktu lalu di kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla akhirnya memutuskan bahwa tiap daerah akan bertanggung jawab atas lingkungannya masing-masing. Daerah-daerah yang ikut menyumbang banjir ke Jakarta adalah Jawa Barat dan Banten. Kedua daerah itu akan diwajibkan untuk melakukan optimalisasi waduk dan situ di wilayah masing-masing.

Waduk dan situ yang sudah dangkal harus dikeruk ulang dan hal itu juga tidak murah. Biaya pengerukan satu waduk ditaksir mencapai Rp 250 miliar. Wisnu menyebutkan, selama seluruh pengendali banjir belum bisa dibenahi secara total, pihaknya terus berusaha meningkatkan water rasio atau perbandingan daerah penampungan air dengan bangunan.

Saat ini, katanya, water ratio Jakarta baru 2,9 persen dan hingga 2009 akan diusahakan angka tersebut naik hingga 4,9 persen. “Jadi ada daerah yang namanya zero over flow. Itu tidak boleh dibangun sebelum menyediakan daerah serapan atau penampung air,” kata Wisnu.

Peneliti sumber daya air dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Hendratmo Soekarno juga menyatakan, Jakarta sangat mustahil bisa bebas banjir. “Sebabnya, intensitas hujan berubah-ubah, sementara jumlah penampung air seperti saluran atau daerah resapan terus menyempit dan menipis,” ujar Hendratmo.

Menurut Hendratmo, jika satu saluran di DKI dikeruk secara maksimal, saluran tersebut hanya mampu bertahan selama dua tahun. Jika lewat dua tahun saluran tidak dikeruk, jumlah volume air dengan luas penampung sudah tidak seimbang sehingga air bisa meluber. “Padahal saluran di DKI ini sudah tidak dikeruk selama 25 tahun,” katanya.

Sumber : Ant, Sabtu, 27 September 2008

No comments :