Krisis air yang meningkat sebagai dampak kekeringan telah terjadi di abad 21 dan diperkirakan akan semakin parah dalam beberapa tahun ke depan. Diperkirakan akan terdapat dua pertiga penduduk dunia yang kekurangan air pada tahun 2050.
Secara global, sekarang ini satu dari empat orang di dunia kekurangan air minum, dan satu dari tiga orang tidak dapat sanitasi layak. Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, Jumat (31/8) lalu, Indonesia juga termasuk mengalami krisis air.
"Defisit air terjadi selama tujuh bulan pada musim kemarau. Surplus air berlangsung lima bulan saat penghujan. Diproyeksikan tahun 2020 potensi air yang ada hanya 35 persen yang layak dikelola," kata Sutopo.
Angka tersebut jauh dari standar minimum dunia 1.100 m3/kapita/tahun. Sejak tahun 2003, terdapat 77 persen kabupaten/kota di Jawa yang memiliki defisit air selama 1-8 bulan dalam setahun.
"Jadi bukan hal aneh jika saat ini di Indonesia terjadi dampak kekeringan, khususnya di Jawa. Distribusi air, hujan buatan, pemboran sumur adalah solusi singkat yang belum mengatasi masalah ini tuntas," ungkapnya.
Untuk itu, tutur Sutopo, diperlukan upaya penyediaan air besar-besaran. Misalnya dengan pembangunan waduk, bendung, embung, dan pengelolaan DAS dinilai dapat mengatasi masalah kekurangan air ini.
Ia pun mendorong partisipasi masyarakat melalui ekonomi kerakyatan, demi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat secara langsung. "Pembangunan waduk kecil di sungai-sungai perlu di banyak tempat. Upaya ini bisa mengatasi kekeringan yang rutin tiap tahun, jika tidak maka kekeringan berkelanjutan yang ada."
No comments :
Post a Comment