http://pustaka.pu.go.id |
Di tengah krisis karya monumental bangsa di era modern ini, tak ada salahnya menengok ke belakang, merenung sejenak, bahwa nenek moyang kita telah mengerjakan dan mewariskan karya monumental, seperti Candi Borobudur, yang diakui sebagai salah satu keajaiban dunia.
Dalam wujud lain, Raja Purnawarman, penguasa Kerajaan Tarumanegara, pada abad kelima Masehi sudah menerapkan manajemen air dan pengendalian banjir yang terencana dan berjangka sangat jauh ke depan. Menurut catatan sejarah, Raja Purnawarman, dengan peralatan yang sangat sederhana, mampu membangun kanal, kemudian menjadi sungai, sepanjang 11 kilometer hanya dalam tempo 21 hari. Artinya, setiap satu hari diselesaikan 550 meter kanal. Kanal itu kemudian diberi nama Sungai Candra Bagasasi. Peninggalan sejarah itu, sekarang bernama Kali Cakung, membelah kawasan Kecamatan Cakung, Jakarta Timur.
Jadi, dilihat dari perspektif sejarah, Tirta Sangga Jaya (TSJ) boleh dibilang bukanlah sesuatu yang terlalu besar, karena nenek moyang kita sudah mengerjakannya 1507 tahun lalu dengan peralatan yang sangat sederhana. TSJ atau sabuk kanal penyangga Ibukota Negara Jakarta, merupakan gagasan tentang tata kelola air secara holistik, yaitu mengamankan pasokan air baku dan mengendalikan arus air liar dari empat sungai besar Cisadane di barat, Ciliwung di tengah, Bekasi, dan Citarum di timur yang setiap tahun mengancam Jakarta dengan amukan banjir kiriman.
Lewat konsep tersebut, 13 sungai sebelum masuk ke Jakarta, dipotong oleh TSJ yang berbentuk huruf U. Pusat kendali waduk reservoir bisa dibangun di Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Air kiriman sungai-sungai Ciliwung, Cisadane, Bekasi dan Citarum, ditampung di waduk Cibinong dan waduk-waduk persimpangan antara sungai-sungai tersebut dan kanal TSJ. Air kanal dan waduk-waduk itu dimanfaatkan juga untuk memasok kebutuhan air baku yang bermutu bagi warga Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Juga untuk keperluan industri perhotelan, apartemen dan perkantoran, sekaligus mencegah eksploitasi air tanah secara besar-besaran.
TSJ dengan kanal selebar 100 meter dan sepanjang lebih kurang 200 kilometer, membentang membentuk huruf U dari Cibinong ke Muara Mauk, Tangerang di sebelah barat, dan dari Cibinong menuju Muara Jaya, di sebelah timur. Gagasan ini lahir dari “Mimpi untuk Jakarta” Syaykh AS Panji Gumilang, pucuk pimpinan Lembaga Pendidikan Al-Zaytun. TSJ juga bisa berfungsi sebagai jaringan irigasi, pembangkit listrik tenaga air, pariwisata, dan prasarana angkutan sungai, baik angkutan penumpang maupun barang.
Yang jadi pertanyaan, bisakab mimpi atau gagasan itu terwujud sebagai kenyataan? Sebab, pembangunan proyek TSJ yang monumental dan spektakuler, membutuhkan biaya yang sangat mahal, menurut perkiraan Syaykh sekitar Rp 900 triliun. Namun menurut Syaykh, dana sebesar itu bisa diperoleh secara bertahap apabila dipikul bersama oleh masyarakat Indonesia yang berkemampuan secara ekonomi. Artinya, pemerintah bisa menjual Surat utang negara (SUN) atau obligasi berjangka tidak terlalu lama kepada publik.
Soalnya, TSJ diharapkan bisa memberikan return (penghasilan) begitu pembangunannya selesai dalam tempo 8 tahun (tahun 2015). Penghasilan TSJ diperoleh dari pasokan air baku bermutu pada perusahaan-perusahaan daerah air minum, perhotelan, perkantoran dan apartemen. Juga dari PLTA, angkutan air, angkutan jalan tol dan pariwisata.
Raja Purnawarman saja bisa membuat sungai dengan peralatan sangat sederhana. Tentu di era kemajuan ini, puteraputera terbaik bangsa, dengan teknologi dan peralatan modern, akan mampu membuat waduk, reservoir, jalan tol dan jembatan.
Persoalannya apakah pemerintah punya political will (kemauan politik) untuk mengatasi persoalan-persoalan fundamental yang dihadapi Ibukota Negara (Jakarta) secara holistik dan berjangka. panjang. Bukan semata-mata pengendalian banjir, tetapi juga penyediaan pasokan air baku bermutu penghentian ekspolitasi air tanah, penataan kembali tata ruang dan pemeliharaan keseimbangan lingkungan Jakarta.
Jika masalah Jakarta ditangani secara parsial, misalnya membangun terowongan air bawah tanah (deep tunnel), situ, resapan air dan sumur injeksi air, maka tak akan menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Jakarta takkan pernah memiliki pasokan air baku yang bermutu. Air baku kali-kali Jakarta dijejali pencemaran yang sangat serius. Sebab air baku Kali Ciliwung dan kali-kali lainnya, pada musim hujan penuh Lumpur, dan hitam pekat pada musim kemarau.
Kalau hanya berkutat di dalam, maka krisis air di Ibukota Negara Jakarta, takkan pernah selesai. Sebaliknya, air sungaisungai itu akan semakin kotor dan tercemar. Padahal manusia sangat membutuhkan sekitar 70% pasokan air bersih untuk kehidupannya sehari-hari.
Jika kebutuhan air Jakarta tidak ditangani secara terencana dan terarah mulai sekarang, maka dalam tempo tiga atau empat tahun ke depan, Ibukota Negara ini, akan mengalami krisis air bersih yang sangat serius. Sebab sekarang saja, intrusi air laut sudah sampan ke kawasan Harmoni, Jakarta Pusat, dan Tomang, Jakarta Barat. Lambat lawn, warga Jakarta yang bermukim di kawasan barat, pusat, timur dan selatan, akan menghadapi kesulitan air seperti yang sudah lama dialami oleh saudara-saudara mereka di kawasan utara.
Kapan lagi Jakarta memiliki sungai-sungai yang mengalirkan air yang jernih dan sehat, seperti kota-kota besar dunia lainnva? Bagaimanakah nasib Program Kali Bersih (Prokasih) Jakarta? Kapankah Jakarta akan bebas dari banjir kiriman?
Semua pertanyaan tersebut hanya akan terjawab dengan membangun TSJ. Bukan mengutak-atik Banjir Kanal Barat atau Banjir Kanal Timur. Persoalan pasokan dan pengendalian air di Jakarta, tidak bisa ditangani dari bagian tengah atau hilir. Sebab sumbernya ada di hulu. Karena itu, TSJ akan melindungi Jakarta dari punggung dan lengan, sesuatu yang sangat ideal, meskipun harganya mahal.
Krisis air Jakarta hanya bisa diatasi dengan perencanaan dan manajemen air yang menyeluruh dan berjangka jauh ke depan. Kuncinya. mari kita mulai berpikir untuk mewujudkan “Mimpi untuk- Jakarta” melalui proyek monumental Tirta Sangga Jaya.
(Sumber Majalah Berita Indonesia – Edisi 39/2007)
Sumber: http://al-zaytun-online.blogspot.com/2007/06/tirta-sangga-jaya-tsj.html
Dalam wujud lain, Raja Purnawarman, penguasa Kerajaan Tarumanegara, pada abad kelima Masehi sudah menerapkan manajemen air dan pengendalian banjir yang terencana dan berjangka sangat jauh ke depan. Menurut catatan sejarah, Raja Purnawarman, dengan peralatan yang sangat sederhana, mampu membangun kanal, kemudian menjadi sungai, sepanjang 11 kilometer hanya dalam tempo 21 hari. Artinya, setiap satu hari diselesaikan 550 meter kanal. Kanal itu kemudian diberi nama Sungai Candra Bagasasi. Peninggalan sejarah itu, sekarang bernama Kali Cakung, membelah kawasan Kecamatan Cakung, Jakarta Timur.
Jadi, dilihat dari perspektif sejarah, Tirta Sangga Jaya (TSJ) boleh dibilang bukanlah sesuatu yang terlalu besar, karena nenek moyang kita sudah mengerjakannya 1507 tahun lalu dengan peralatan yang sangat sederhana. TSJ atau sabuk kanal penyangga Ibukota Negara Jakarta, merupakan gagasan tentang tata kelola air secara holistik, yaitu mengamankan pasokan air baku dan mengendalikan arus air liar dari empat sungai besar Cisadane di barat, Ciliwung di tengah, Bekasi, dan Citarum di timur yang setiap tahun mengancam Jakarta dengan amukan banjir kiriman.
Lewat konsep tersebut, 13 sungai sebelum masuk ke Jakarta, dipotong oleh TSJ yang berbentuk huruf U. Pusat kendali waduk reservoir bisa dibangun di Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Air kiriman sungai-sungai Ciliwung, Cisadane, Bekasi dan Citarum, ditampung di waduk Cibinong dan waduk-waduk persimpangan antara sungai-sungai tersebut dan kanal TSJ. Air kanal dan waduk-waduk itu dimanfaatkan juga untuk memasok kebutuhan air baku yang bermutu bagi warga Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Juga untuk keperluan industri perhotelan, apartemen dan perkantoran, sekaligus mencegah eksploitasi air tanah secara besar-besaran.
TSJ dengan kanal selebar 100 meter dan sepanjang lebih kurang 200 kilometer, membentang membentuk huruf U dari Cibinong ke Muara Mauk, Tangerang di sebelah barat, dan dari Cibinong menuju Muara Jaya, di sebelah timur. Gagasan ini lahir dari “Mimpi untuk Jakarta” Syaykh AS Panji Gumilang, pucuk pimpinan Lembaga Pendidikan Al-Zaytun. TSJ juga bisa berfungsi sebagai jaringan irigasi, pembangkit listrik tenaga air, pariwisata, dan prasarana angkutan sungai, baik angkutan penumpang maupun barang.
Yang jadi pertanyaan, bisakab mimpi atau gagasan itu terwujud sebagai kenyataan? Sebab, pembangunan proyek TSJ yang monumental dan spektakuler, membutuhkan biaya yang sangat mahal, menurut perkiraan Syaykh sekitar Rp 900 triliun. Namun menurut Syaykh, dana sebesar itu bisa diperoleh secara bertahap apabila dipikul bersama oleh masyarakat Indonesia yang berkemampuan secara ekonomi. Artinya, pemerintah bisa menjual Surat utang negara (SUN) atau obligasi berjangka tidak terlalu lama kepada publik.
Soalnya, TSJ diharapkan bisa memberikan return (penghasilan) begitu pembangunannya selesai dalam tempo 8 tahun (tahun 2015). Penghasilan TSJ diperoleh dari pasokan air baku bermutu pada perusahaan-perusahaan daerah air minum, perhotelan, perkantoran dan apartemen. Juga dari PLTA, angkutan air, angkutan jalan tol dan pariwisata.
Raja Purnawarman saja bisa membuat sungai dengan peralatan sangat sederhana. Tentu di era kemajuan ini, puteraputera terbaik bangsa, dengan teknologi dan peralatan modern, akan mampu membuat waduk, reservoir, jalan tol dan jembatan.
Persoalannya apakah pemerintah punya political will (kemauan politik) untuk mengatasi persoalan-persoalan fundamental yang dihadapi Ibukota Negara (Jakarta) secara holistik dan berjangka. panjang. Bukan semata-mata pengendalian banjir, tetapi juga penyediaan pasokan air baku bermutu penghentian ekspolitasi air tanah, penataan kembali tata ruang dan pemeliharaan keseimbangan lingkungan Jakarta.
Jika masalah Jakarta ditangani secara parsial, misalnya membangun terowongan air bawah tanah (deep tunnel), situ, resapan air dan sumur injeksi air, maka tak akan menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Jakarta takkan pernah memiliki pasokan air baku yang bermutu. Air baku kali-kali Jakarta dijejali pencemaran yang sangat serius. Sebab air baku Kali Ciliwung dan kali-kali lainnya, pada musim hujan penuh Lumpur, dan hitam pekat pada musim kemarau.
Kalau hanya berkutat di dalam, maka krisis air di Ibukota Negara Jakarta, takkan pernah selesai. Sebaliknya, air sungaisungai itu akan semakin kotor dan tercemar. Padahal manusia sangat membutuhkan sekitar 70% pasokan air bersih untuk kehidupannya sehari-hari.
Jika kebutuhan air Jakarta tidak ditangani secara terencana dan terarah mulai sekarang, maka dalam tempo tiga atau empat tahun ke depan, Ibukota Negara ini, akan mengalami krisis air bersih yang sangat serius. Sebab sekarang saja, intrusi air laut sudah sampan ke kawasan Harmoni, Jakarta Pusat, dan Tomang, Jakarta Barat. Lambat lawn, warga Jakarta yang bermukim di kawasan barat, pusat, timur dan selatan, akan menghadapi kesulitan air seperti yang sudah lama dialami oleh saudara-saudara mereka di kawasan utara.
Kapan lagi Jakarta memiliki sungai-sungai yang mengalirkan air yang jernih dan sehat, seperti kota-kota besar dunia lainnva? Bagaimanakah nasib Program Kali Bersih (Prokasih) Jakarta? Kapankah Jakarta akan bebas dari banjir kiriman?
Semua pertanyaan tersebut hanya akan terjawab dengan membangun TSJ. Bukan mengutak-atik Banjir Kanal Barat atau Banjir Kanal Timur. Persoalan pasokan dan pengendalian air di Jakarta, tidak bisa ditangani dari bagian tengah atau hilir. Sebab sumbernya ada di hulu. Karena itu, TSJ akan melindungi Jakarta dari punggung dan lengan, sesuatu yang sangat ideal, meskipun harganya mahal.
Krisis air Jakarta hanya bisa diatasi dengan perencanaan dan manajemen air yang menyeluruh dan berjangka jauh ke depan. Kuncinya. mari kita mulai berpikir untuk mewujudkan “Mimpi untuk- Jakarta” melalui proyek monumental Tirta Sangga Jaya.
(Sumber Majalah Berita Indonesia – Edisi 39/2007)
Sumber: http://al-zaytun-online.blogspot.com/2007/06/tirta-sangga-jaya-tsj.html